Reporter: Fahriyadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Polemik perkara kewajiban publikasi susu formula yang mengandung Enterobacter sakazakii kian memanas. Mahkamah Agung (MA) akhirnya ikut angkat bicara. MA menilai, upaya perlawanan dari beberapa perguruan tinggi negeri tidak berdasar.
Ketua MA Harifin Tumpa mengungkapkan, putusan MA dalam kasus tersebut tidak bisa dilawan pihak ketiga. "Itu tindakan yang aneh. Biarkan saja mereka," kata Harifin, akhir pekan lalu.
Cuma, ia mengakui, bisa atau tidaknya pelaksanaan eksekusi dari putusan tersebut merupakan persoalan di lapangan dan menjadi wewenang pengadilan negeri (PN). Menurutnya, masyarakat boleh atau berhak untuk tidak setuju dengan putusan tersebut.
Tetapi menurutnya, cara yang elegan untuk mengajukan perlawanan adalah dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Harifin sendiri adalah ketua majelis kasasi MA yang turut memutus perkara tersebut. Ia menilai aneh sikap para tergugat yang tidak mau mengumumkan hasil penelitiannya. "Kalau tidak ingin diumumkan jangan sepotong-potong," katanya.
Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie menilai, ketika norma hukum dan etika saling berhadapan, maka yang harus diutamakan adalah norma hukum. "Jangan atas nama romantisme etika akademik, lalu bisa menolak putusan pengadilan, itu tidak baik," papar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Saat ini, ada empat perguruan tinggi negeri (PTN) yang mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) atas rencana eksekusi perkara kewajiban publikasi susu formula yang mengandung Enterobacter sakazakii. Mereka adalah UI, Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, dan Universitas Sumatera Utara. Inti perlawanannya, mereka memohon kepada Ketua PN Jakarta Pusat agar putusan MA yang memerintahkan Menteri Kesehatan, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mempublikasikan produk susu formula yang tercemar bakteri itu tak dapat dieksekusi.
Mereka menilai, putusan MA itu telah melanggar kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan yang dimiliki perguruan tinggi.
Sebagai PTN, seperti halnya IPB, mereka berkepentingan atas putusan tersebut. Penelitian IPB soal susu formula yang mengandung bakteri itu termasuk kegiatan penelitian ilmiah yang juga dilindungi oleh norma kebebasan mimbar akademik. Menurut kode etik, seorang peneliti tidak dapat mempublikasikan atau menyebutkan nama-nama dan jenis produk yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian yang menggunakan metode pengambilan sampel secara acak serta bukan merupakan pengujian monitoring.
Menanggapi perlawanan ini, David Tobing selaku pemohon eksekusi menyatakan tidak gentar. "Saya siap meskipun menghadapi perlawanan dari sepuluh orang rektor sekalipun," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News