kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

LPS: Status kantor cabang akan menyulitkan deposan


Senin, 23 Juli 2012 / 15:44 WIB
ILUSTRASI. PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (IFII) yang bergerak di industri pengolahan kayu seperti produksi kayu lapis.


Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris

JAKARTA. Ekonom perbankan yang kini Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara menilai perubahan menjadi badan hukum Indonesia memang diperlukan untuk memagari aset para deposan Indonesia jika induk bank asing di luar negeri terkena krisis. Jika berbadan hukum Indonesia, aset di Indonesia bisa dipagari untuk kepentingan deposan di Indonesia.

Ada perbedaan mendasar apabila status bank di Indonesia hanya sebagai cabang dari kantor pusat di luar negeri. Bedanya, aset bank di Indonesia adalah aset milik kantor pusat di luar negeri. Selama tidak berbadan hukum Indonesia, dana para deposan Indonesia tidak dapat dipagari hanya untuk kepentingan deposan Indonesia. "Badan hukum Indonesia perlu agar ada ring fencing atau pemagaran jika induk di luar negeri terkena krisis," kata Mirza Adityaswara, Kepala Eksekutif LPS, Senin (23/7).

Mirza menjelaskan, dari sisi penjaminan, tidak ada perbedaan. Setiap deposan di bank milik asing tetap dijamin oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Lembaga Penjamin Simpanan, dengan batas maksimal simpanan Rp 1 miliar untuk tiap rekening deposan. “Tetapi untuk penguasaan asset-aset, jika ada masalah di kantor pusat, maka akan lebih mudah jika bank yang di dalam negeri statusnya perseroan terbatas atau cabang anak usaha, bukan cabang kantor pusat,” terang Mirza.

Perihal masa transisi, Mirza tidak memiliki usulan. “Sebaiknya diserahkan saja ke BI untuk menentukan berapa waktunya yang paling baik,” katanya.

Isu bank milik asing kembali muncul setelah Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan BI Nomor 14/ 8 /PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. Peraturan ini ternyata tidak mengubah peta perbankan Indonesia yang saat ini sebagian besar dikuasai asing.

Peraturan tersebut mengatur kepemilikan asing di saham bank nasional dengan mengaitkan tingkat kesehatan bank dan praktik Good Corporate Governance (GCG). Selama praktek GCG baik dan tingkat kesehatan bank baik, asing masih boleh menggenggam saham bank Indonesia hingga 99%. Maka tertutuplah harapan sebagian masyarakat yang ingin investor asing di bank nasional dibatasi.

Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, investor asing pemilik bank di Indonesia masih bisa diatar melalui dua cara. Pertama, mendorong mereka berbadan hokum Indonesia atau menjadi perseroan terbatas, bukan seperti status saat ini yang hanya cabang kantor pusat. Namun untuk mengubah status ini, perlu masa transisi yang cukup.

Kedua, menerapkan perizinan bertingkat kepada bank asing. Contohnya, setiap pembukaan cabang di suatu wilayah, bank asing harus mendapat izin baru dari BI dengan persyaratan tertentu. “Bank asing yang membuka cabang di Jakarta, harus membangun cabang misalnya di Jayapura,” kata Sigit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×