Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), serta iklim politik di tahun penyelenggaraan pemilu serentak akan menjadi dua kunci utama yang mempengaruhi ekonomi Indonesia di tahun 2019. Di samping itu, performa perdagangan dan pertumbuhan sektor manufaktur juga menjadi faktor penentu stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini.
Hal tersebut disampaikan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) dalam seri analisis makroekonomi Indonesia Economic Outlook 2019. Dalam laporan yang diterima Kontan.co.id, Jumat (11/1), Kepala Riset LPEM FEUI Febrio Kacaribu memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019 berada di kisaran 5,2% sampai 5,3% secara tahunan.
Dibandingkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 yang direvisi turun menjadi 5,1%-5,2%, angka tersebut memang lebih tinggi. Namun, LPEM menyoroti kelemahan perekonomian Indonesia dari sisi perdagangan dan pelebaran defisit CAD.
Kondisi ekspor Indonesia, menurut Febrio, lemah akibat ketergantungan terhadap produk mentah, seperti CPO, serta impor yang tinggi akibat pembangunan infrastruktur. Lantas, neraca perdagangan pun mengalami defisit di kuartal II dan III 2018.
"Kami belum melihat ruang perbaikan yang signifikan untuk posisi perdagangan Indonesia di 2019," tulis Febrio dalam laporan tersebut.
Apalagi, risiko pelemahan perdagangan bakal makin besar seiring dengan ancaman perang dagang yang diproyeksikan menyeret pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China ke depan. Sebesar 24,2% nilai ekspor Indonesia pada 2017 bergantung pada dua negara ekonomi raksasa itu.
LPEM menilai, risiko perdagangan bersama dengan tren kenaikan suku bunga acuan, serta jatuhnya penanaman modal asing secara langsung (FDI) di Indonesia akan menjadi tambahan beban bagi kinerja ekspor serta bagi kondisi nilai tukar rupiah dalam jangka waktu menengah ini.
Di sisi lain, dinamika politik yang terjadi jelang pemilihan umum pada April mendatang akan memberi efek campuran pada pertumbuhan maupun indikator makroekonomi lain di sepanjang tahun ini. Pengeluaran kampanye, kebijakan dan pertimbangan pemerintah terkait politik seperti menahan harga BBM, hingga penggelontoran dana kelurahan memang berpotensi mendorong konsumsi domestik di pertengahan pertama 2019.
"Tapi kebijakan menahan harga BBM tidak akan bertahan lama sehingga kami melihat ada risiko kenaikan inflasi pada kuartal-III dan IV 2019 yang berisiko mengurangi pertumbuhan konsumsi riil," lanjut Febrio.
Belum lagi, kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia yang telah mengalami kenaikan sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang 2018 dikhawatirkan dapat menangkal stimulus perekonomian yang dikeluarkan pemerintah melalui peningkatan APBN 2019.
Oleh karena itu, LPEM menyarankan agar pemerintah terus mengupayakan reformasi struktural dalam perekonomian, terutama untuk meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia di antara negara tetangga. "Kebijakan pembatasan impor barang dan bahan baku juga diwaspadai sebab bisa menjadi bumerang jika mengarah pada berkurangnya bahan untuk memenuhi aktivitas ekspor," terang Febrio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News