kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

LPEM FEB UI: Burden sharing tak kikis tingkat kepercayaan investor ke Indonesia


Selasa, 04 Agustus 2020 / 21:06 WIB
LPEM FEB UI: Burden sharing tak kikis tingkat kepercayaan investor ke Indonesia
ILUSTRASI. Pejalan kaki melintas di gedung kantor pusat Bank Indonesia (BI) Jakarta, (18/7).


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skema pembagian beban (burden sharing) pembiayaan utang untuk pemulihan ekonomi nasional yang telah disepakati Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) dinilai bisa gerus kepercayaan investor terhadap independensi bank sentral dan kondisi makroekonomi dalam negeri.

Akan tetapi, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menepis hal itu. Pengumuman burden sharing tidak berdampak negatif pada tingkat kepercayaan investor.

"Ini dengan melihat tidak adanya peristiwa arus modal asing keluar dan lonjakan di imbal hasil surat utang pemerintah," ujar ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam asesmen yang diterima Kontan.co.id, Selasa (4/8).

Baca Juga: LPEM FEB UI: Monetisasi utang BI tak bisa ungkit inflasi di kondisi ekonomi saat ini

Akan tetapi, Riefky memang tak mengelak kalau lewat skema ini, BI telah mengorbankan sebagian tingkat independensinya karena pada hakikatnya, gagasan bank sentral mendanai utang pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim akibat timbulnya paparan dari sisi politis yang bisa membahayakan kredibilitas bank sentral.

Riefky merujuk pada pendapat Alesina dan Summers, menurutnya sejalan dengan semakin tingginya tingkat independensi bank sentral, maka bisa mendorong semakin tingginya harga.

Jadi, turunnya independensi BI bisa mendorong meroketnya inflasi dan bergejolaknya harga sehingga mengganggu stabilitas makroekonomi.

Selain itu, langkah monetisasi utang juga dianggap mampu mengikis kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Apalagi, mandat BI sudah jelas dalam undang-undang (UU) yaitu untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Namun, berkaca dengan kondisi sekarang, di mana perekonomian sedang tidak stabil akibat pandemi Covid-19, Riefky mengatakan kalau kebijakan moneter yang tidak konvensional ini merupakan praktik yang lumrah dilakukan.

Mengingat reputasi kehati-hatian yang sudah dibangun oleh BI dan Kemenkeu dan juga penekanan kalau kebijakan ini hanya berlaku di tahun 2020 atau one-off policy, maka bisa memberi keyakinan tambahan terhadap investor kalau BI masih tetap bisa menjaga independensinya.

Baca Juga: Pemerintah perlebar defisit anggaran 2021, ekonom IKS: Ini langkah antisipatif

Di sisi lain, Riefky juga menemukan hal-hal yang menunjukkan adanya sentimen positif pasca pengumuman skema burden sharing yaitu pola penurunan imbal hasil dari surat utang pemerintah tenor 1 tahun.

Tendensi positif juga divalidasi dengan pernyataan lembaga pemeringkat seperti Moody's dan S&P yang menilai kalau monetisasi utang yang dilakukan BI dan Kemenkeu tidak akan mempengaruhi credit rating Indonesia dalam waktu dekat.

"Hal ini mengisyaratkan kalau pembuat kebijakan mampu menjaga kredibilitasnya di saat BI mengorbankan sebagian tingkat independensinya. Namun, harus tetap mengembalikan derajat independensinya yang hilang di masa mendatang agar tidak mencederai kredibilitas pemerintah secara permanen," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×