CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.466.000   -11.000   -0,74%
  • USD/IDR 15.860   -72,00   -0,46%
  • IDX 7.215   -94,11   -1,29%
  • KOMPAS100 1.103   -14,64   -1,31%
  • LQ45 876   -10,76   -1,21%
  • ISSI 218   -3,03   -1,37%
  • IDX30 448   -5,87   -1,29%
  • IDXHIDIV20 540   -6,91   -1,26%
  • IDX80 126   -1,77   -1,38%
  • IDXV30 135   -1,94   -1,41%
  • IDXQ30 149   -1,85   -1,22%

Lebih dari 5.500 orang tolak penghargaan untuk SBY


Kamis, 23 Mei 2013 / 12:57 WIB
Lebih dari 5.500 orang tolak penghargaan untuk SBY
Aplikasi PeduliLindungi bakal menjadi penguat di masa transisi menujuu endemi./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/22/11/2021.


Reporter: Dyah Megasari |

JAKARTA. Hingga Rabu (22/5/2013) sore, sudah 5.514 orang yang menandatangani petisi untuk menolak rencana pemberian penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation di New York, Amerika Serikat, untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya, selama masa kepemimpinan Yudhoyono justru marak tindakan intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Petisi digalang lewat www.change.org/natoSBY.

Direktur Komunikasi Change.org, Arief Aziz, di Jakarta, Rabu (22/5/2013), mengungkapkan, hingga sekitar pukul 15.30 WIB, jumlah penanda tangan petisi menolak penghargaan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencapai 5.514 orang. Jumlah itu akan terus bertambah.

Penanda tangan berasal dari berbagai kalangan, seperti para pegiat hak asasi manusia (HAM), tokoh agama, pegiat kebebasan beragama, aktivis demokrasi, dan aktivis pluralisme. Mereka antara lain pegiat HAM, Andreas Harsono; Koordinator Kontras, Haris Azhar; Benny Susetyo; aktivis pluralisme, Alissa Wahid; dan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF), Karlina Supeli.

"Untuk memperluas dukungan, kami juga merencanakan pertemuan bersama dan jumpa pers," kata Arief Aziz.

The Appeal of Conscience Foundation (TACF) di New York berencana memberikan World Statesman Award untuk Presiden SBY pada akhir Mei ini. Penghargaan selama ini dianugerahkan kepada sejumlah pemimpin dunia yang dinilai mempromosikan toleransi, perdamaian, dan resolusi konflik. Namun, rencana itu diprotes banyak kalangan di Indonesia. SBY dinilai belum layak menerima penghargaan itu.

Sebagai presiden dan kepala negara, Yudhoyono dianggap tidak berbuat banyak untuk mencegah dan menindak para pelaku kekerasan dalam berbagai kasus intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan justru diabaikan.

Inisiator petisi www.change.org/natoSBY, Imam Shofwan, mengungkapkan bahwa petisi akan terus digalang hingga mencapai 10.000 penanda tangan. Selain menolak penghargaan untuk SBY, petisi merupakan bentuk dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dizalimi selama kepemimpinan Yudhoyono.

Menurut Imam, sejak SBY menjadi Presiden RI pada akhir 2004, terjadi peningkatan infrastruktur hukum yang memperlakukan minoritas agama sebagai warga negara kelas dua. Hal itu dialami kelompok minoritas Muslim, seperti Jemaah Ahmadiyah dan Syiah, ataupun minoritas non-Muslim, seperti Bahai, Kristen, dan agama-agama tradisional. (Ilham Khoiri/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×