Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto
Potensi Kebocoran Pajak di Marketplace
Sementara itu, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menekankan pentingnya pengaturan khusus terhadap transaksi perdagangan di marketplace.
Menurutnya, banyak pelaku usaha yang memilih berjualan di marketplace karena kemudahan akses dan potensi pasar yang besar, meski harus membayar biaya layanan dan promosi hingga 10%-20% kepada platform.
Namun, ia melihat bahwa potensi kebocoran pajak justru lebih besar di sektor ini dibandingkan dengan toko daring mandiri.
"Banyak potensi pajak yang lolos dari radar, terutama di marketplace. Berbeda dengan toko online mandiri yang biasanya sudah lebih besar dan relatif patuh,” ujar Raden.
Baca Juga: Pelapak E-Commerce dengan Omzet Rp 500 Juta-Rp 4,8 Miliar Akan Kena Pajak 0,5%
Aturan Baru Pajak E-Commerce Sedang Digodok
Dua sumber di industri e-commerce yang dikutip Reuters mengungkapkan bahwa pemerintah tengah merancang aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut pajak sebesar 0,5% dari omzet penjual yang memiliki pendapatan tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.
Aturan ini bertujuan untuk menyamakan kedudukan antara pedagang online dan toko fisik dalam hal kepatuhan perpajakan, serta menjadi strategi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah tantangan fiskal.
Perubahan tersebut diperkirakan akan berdampak langsung pada sejumlah platform besar seperti TikTok Shop dan Tokopedia milik ByteDance, Shopee milik Sea Limited, Lazada yang didukung Alibaba, serta Blibli dan Bukalapak.
Salah satu sumber menyebutkan bahwa aturan ini direncanakan akan diumumkan bulan depan, seiring dengan upaya pemerintah memperkuat basis penerimaan pajak di sektor ekonomi digital.
Selanjutnya: Solusi Bangun Indonesia (SMCB) Cari Cara Hadapi Tekanan di Industri Semen
Menarik Dibaca: DLH Jakarta Jalankan Pilot Project Pengelolaan Sampah di 6 Kelurahan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News