kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kualitas TKI menjadi paspor lintas ASEAN


Kamis, 06 Februari 2014 / 13:47 WIB
Kualitas TKI menjadi paspor lintas ASEAN
ILUSTRASI. Promo Pegivaganza PegiPegi, Diskon Pesawat Domestik & Internasional Rp135.000


Reporter: Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Bertemu penjual pakaian di Ma Boon Khrong (MBK) yang menyapa pembeli dengan bilang, “Murah.. murah..”, tentu bukan hal biasa. Anda yang pernah menyambangi mal di Bangkok, Thailand tersebut, barangkali juga pernah mendapat tawaran serupa dari pedagang di sana.

Bukan hanya di Negeri Gajah Putih. Mungkin Anda juga pernah menjumpai penjual cendera mata di Central Market, Kamboja atau pedagang di Pasar Ben Thanh, Vietnam, terbata-bata merayu pengunjung menggunakan Bahasa Indonesia saat mengetahui calon pembeli mereka dari negara kita.

Tidak ada yang meragukan jika bahasa adalah modal utama komunikasi. Meski sudah ada Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi universal, hati siapa yang tak lebih girang jika disapa dengan bahasa ibu? Tak heran, kalau para pedagang yang memiliki kemampuan aneka bahasa bisa menjaring pembeli lebih banyak.

Nah kelak, kala pintu perdagangan bebas, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dibuka, kualifikasi tenaga kerja turut dipertarungkan. Tak cuma investasi yang bisa dipertukarkan, tenaga kerja juga bisa lintas batas negara-negara ASEAN.

Jangan heran jika negara-negara ASEAN pun bekerja keras membekali tenaga kerja mereka. Salah satu contoh adalah Thailand. Perlu Anda ketahui, minat warga negara yang suhu politiknya sedang memanas ini mempelajari Bahasa Indonesia makin tinggi, lo. Ini terlihat dari jumlah pusat studi Bahasa Indonesia yang semakin banyak di negeri kerajaan ini.

Thailand mulai mendirikan Indonesian Study Center pada 2011. Bermula di tiga universitas yakni Mae Fah Luang University, Chiang Mai University, dan Burapha University. Tak cuma bahasa, pusat studi ini juga mempelajari sosial dan budaya Indonesia.

Lantas pada 2012, bertambah tiga pusat studi lagi di Srinakharinwirot University, Prince Songkhla University, dan Wailalak University. Letak keenam universitas itu merata, di wilayah Thailand Utara, Bangkok, serta Thailand Selatan.

Didik Sulistyanto, Guru Besar Universitas Jember yang pernah menjabat Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok tahun 2008–2012, bilang, sebelum gencar membangun pusat studi Indonesia, Thailand sudah menyiapkan standar kualifikasi tenaga kerja sejak 2009.

Negara yang terkenal dengan sup tom yum ini sudah mengenalkan MEA dalam kurikulum pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Vietnam dan Malaysia juga melakukan hal serupa.

Lalu bagaimana persiapan kita? Aturan standar kualifikasi di Tanah Air baru muncul dua tahun lalu melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2012. Alhasil, sosialisasi baru dilakukan sejak tahun lalu. Contoh, dengan memasukkan materi MEA ke dalam mata kuliah sejak tahun ini. Namun, Didik yakin belum sampai separuh perguruan tinggi yang menerapkan hal itu. Jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) saat ini sekitar 3.116 kampus.

Kalah bersaing

Standar kualifikasi tenaga kerja yang dibuat tiap negara ASEAN mengacu pada poin-poin yang telah disepakati dalam ASEAN Summit 2009. Standar ini menjadi “paspor” bagi pekerja untuk bisa diterima bekerja di lintas ASEAN.

Selain Perpres No. 8/2012, ada pula Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi bikinan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tapi, hingga detik ini, aturan itu masih berwujud draf yang belum diteken menteri. “Sejauh ini bisa dibayangkan, seperti apa persiapan kita,” ujar Didik.

Cerita pelaku usaha pun mengamini tudingan ketidaksiapan Didik. Thomas Darmawan, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), menyebut dua kendala besar. Pertama, di lini tenaga kerja terlatih. Masalah yang dihadapi berupa proses pengolahan ikan yang tidak terintegrasi.

Ambil contoh, produk ikan patin. Letak pembibitan patin di Bogor, sedangkan tempat penggemukan ada di Pekanbaru, Jambi, dan Palembang. Lalu, pabrik pakan ada di Tangerang dan Bandarlampung. Sementara, pabrik pengolahan terletak di Surabaya dan hasil olahan ini dijual di Jakarta.

Bandingkan dengan Vietnam. Tempat pembibitan dan penggemukan dori, begitu patin disebut di negara itu, ada di muara Sungai Mekong. Sedangkan pabrik pakan dan pengolahan berada tak lebih dari 100 kilometer (km) saja. Integrasi proses ini menyebabkan biaya produksi patin di Vietnam lebih efisien, dan harga jualnya lebih murah. Alhasil, “Restoran kita 90% mengonsumsi patin Vietnam,” ungkap Thomas.

Selain efisiensi, negara yang beribukota di Hanoi ini juga serius mengembangkan teknologi. Bibit patin Vietnam semula dari Indonesia yang dikembangkan semenjak 15 tahun lalu. Teknologi yang mereka kembangkan bisa menghasilkan patin berdaging lebih putih.

Selain nelayan ikan budidaya, nelayan ikan laut juga tak imun kendala. Misalnya, bahan bakar kapal yang mahal dan akses pinjaman ke perbankan yang hampir mustahil didapat.

Tidak hanya itu, kompetensi tenaga kerja perkapalan Indonesia juga dinilai tak cukup cekatan. “Ketika belum lama ini Thailand butuh 100.000 tenaga kerja kapal, prioritas utama yang dicari adalah orang Myanmar, Kamboja, barulah Indonesia,” beber Thomas.

Kedua, tenaga kerja terdidik. Indonesia memang punya lembaga pendidikan formal yakni Akademi Perikanan dan Kelautan. Namun, iming-iming upah lebih tinggi nyatanya kerap menyulut lulusan sekolah ini memilih hijrah bekerja di luar negeri, seperti ke Jepang, Taiwan, maupun Korea Selatan.

Fenomena tersebut sepertinya sejalan dengan temuan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sejak 2010, lebih banyak tenaga kerja yang terserap ke perusahaan modal asing (PMA) ketimbang perusahaan modal dalam negeri (PMDN).

Banyak yang was-was

Di sektor hotel dan pariwisata, kabar tenaga kerja juga sama tak siap. Dari sekitar dua juta pekerja berbagai ini di sektor ini, baru 4% yang sudah mengantongi sertifikat standar kualifikasi. Padahal, upaya Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memberi stempel terkualifikasi sudah dimulai tiga tahun silam dan sejauh ini masih gratis. “Dari sisi pelaku usaha belum ada kesadaran tinggi untuk mengirim karyawan mereka agar bersertifikat,” kata Carla Parengkuan, Deputy Secretary General PHRI.

Sedang Tengku Burhanudin, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier (Inaca), curhat soal industri penerbangan yang kekurangan pilot. Tak heran, banyak pilot asing mengisi lowongan kerja ini. Itu belum termasuk kendala klasik yakni peralatan penerbangan yang kalah canggih dibanding negara lain seperti Singapura serta kondisi infrastruktur, lo.

Para pekerja profesi seperti arsitek juga tak kurang was-was. Sumardi S.M., Ketua Badan Keprofesian Ikatan Arsitek Indonesia, mengatakan, belum ada regulasi yang mengatur dan melindungi arsitek di negeri ini. Rancangan Undang-Undang Arsitek mangkrak sejak lima tahun lalu di meja DPR.

Kondisi ini berbeda dengan arsitek di negara ASEAN lain. “Kalau tidak ada aturan, sama saja dengan mengorbankan bangsa sendiri. Kita susah bekerja di negeri orang tapi orang asing bisa gampang masuk Indonesia,” beber Sumardi.

Cuma, Elly Zarni Husin, Direktur Eksekutif Ikatan Akuntan Indonesia, yang tampak percaya diri soal kesiapan. Modal percaya diri Elly: silabus standar sertifkasi Chartered Accountant yang sudah selesai dibikin tahun lalu dan siap diimplementasikan tahun ini.

Sekadar memberikan gambaran, mari melongok hasil riset Asian Productivity Organization (APO). Produktivitas pekerja Indonesia tahun 2011 bisa dibilang biasa-biasa saja. Level produktivitas pekerja kita berdasar penghitungan produk domestik bruto (PDB) per pekerja cuma di posisi keempat, bersaing ketat dengan Filipina. Kalau regional diperluas menjadi ASEAN Plus 8, maka produktivitas pekerja kita melorot ke posisi sembilan .

Namun ingat, itu data lawas 2011, ya. Dari 2011 hingga 2014, segala sesuatu mungkin terjadi. Jika persiapan kita masih jalan di tempat sementara negara ASEAN lain ngebut melakukan berbagai persiapan, bukan tak mungkin level produktivitas tenaga kerja kita kian melorot. “Akhirnya jumlah pengangguran meningkat karena tak bisa bersaing,” kata Didik.

Kekhawatiran para pelaku usaha sebenarnya sudah dibaca para pemangku kebijakan. Rencana perlindungan bagi tenaga kerja dalam negeri pun sedang mereka persiapkan. Achmad Poernomo, Staf Ahli Kebijakan Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan, bilang, lembaganya sedang menambah tempat uji kompetensi. Tak cuma untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja dalam negeri, uji kompetensi juga menjadi syarat bagi pekerja asing jika ingin bekerja di Indonesia.

Reyna Usman, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menambahkan, instansinya juga sedang membuat regulasi kajian strategi buka-tutup sektor tertentu bagi pekerja asing. Makanya, dia tak khawatir dengan antusiasme negara ASEAN lain mempelajari Bahasa Indonesia. “Kalau mereka mempelajari Bahasa Indonesia, berarti negara kita adalah pasar potensial, tapi masak kita sebagai pasar ikutan mempelajari bahasa lain,” tambah Reyna.

Ahli strategi perang Tiongkok kuno, Sun Tzu, bilang, “Jika kamu mengenal musuhmu dan dirimu sendiri, kamu tak perlu takut dengan ratusan kali pertempuran. Jika kamu mengenal dirimu sendiri tapi tak mengenal musuhmu, kamu akan menderita kekalahan di setiap kejayaan yang kamu dapat.”

Jadi, jangan heran, ya, kalau nanti makin banyak pedagang di negara tetangga kita yang fasih bilang, “Harga bisa kurang, tawar saja!”


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 19 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×