Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peningkatan kualitas pengelolaan anggaran negara menjadi tantangan klasik pemerintah yang sulit untuk diatasi. Pemerintah mengakui, penganggaran program kegiatan disusun secara muluk, tetapi loyo saat pelaksanaan dan pelaporan. Akibatnya, pengelolaan keuangan negara belum efektif dan efisien, bahkan sering terjadi duplikasi anggaran.
Tidak hanya di pusat, kondisi ini juga terjadi untuk anggaran daerah. Padahal, anggaran transfer ke daerah setiap tahunnya meningkat. Kenaikan dana transfer tidak diikuti belanja daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang efektif.
Bahkan belanja kementerian atau lembaga) masih banyak mendanai kegiatan yang seharusnya dari belanja daerah. "Kenaikan belanja APBD dan transfer ke daerah tidak diikuti oleh pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien," jelas Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Boediarso Teguh Widodo saat paparan dalam acara Budget Day di Gedung Dhanapala, Rabu (22/11).
Indikatornya antara lain, porsi belanja pegawai di daerah sebesar 36,8% jauh lebih besar dibanding porsi belanja modal yang hanya 20%. Lalu, penyerapan anggaran belum optimal, tercermin dari realisasi belanja modal lambat, simpanan pemda di bank meningkat setiap tahun, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) kian besar.
Kemudian, adanya ketimpangan dalam layanan publik antar daerah. "Akses air bersih di Balikpapan, Kalimantan Timur mencapai 98%. Sebaliknya di Kabupaten Mamberamo, Papua hanya 4%," jelas Boediarso.
Di bidang tata kelola keuangan daerah, Boediarso menyebut, terdapat 7.950 temuan atas Sistem Pengendalian Internal (SPI) dengan 12.168 permasalahan dan kerugian negara sekitar Rp 2 triliun. "Yang lebih menyedihkan terdapat 361 kepala daerah terlibat kasus korupsi dari 542 daerah. Terdiri dari 18 gubernur, 343 bupati atau wali kota dengan korupsi terbesar ada pada pelaksanaan dari pengadaan konstruksi bangunan," tambah Boediarso.
Duplikasi anggaran pun terjadi di banyak kegiatan. Duplikasi anggaran paling banyak terjadi pada belanja fungsi kesehatan, perlindungan sosial, lingkungan hidup, ekonomi, pendidikan, perumahan, dan fasilitas umum.
Misalnya, masih adanya anggaran belanja fungsi pendidikan, rehabilitasi, dan penambahan ruang kelas sebesar Rp 3,1 triliun di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). "Sebetulnya fungsinya sudah diserahkan kepada daerah," jelas Boediarso.
Reformasi anggaran
Karena itu pemerintah perlu melakukan reformasi pengelolaan keuangan negara dengan fokus pada fungsi distribusi dan stabilisasi. "Fungsi itu mutlak menjadi domain pemerintah pusat untuk atasi ketimpangan, kurangi kemiskinan, mencapai kesempatan kerja penuh, dan sebagai sarana instrumen counter cyclical policy," jelas Boediarso.
Selain itu, diperlukan reformasi penganggaran dengan melakukan standardisasi program dan kegiatan. Pemerintah perlu membentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur standardisasi tersebut. Kemudian, perlu pengurangan belanja K/L yang didanai kewenangan daerah dan perbaikan mekanisme evaluasi dan rencana belanja K/L.
Direktur Jenderal Anggaran Kemkeu Askolani mengatakan, pengelolaan anggaran saat ini masih menjadi tantangan lantaran perencanaan kegiatan tidak matang. Hal itu berujung pada pelaksanaan kegiatan yang tidak efektif sehingga penyerapannya belum optimal.
"Belum optimalnya belanja diimbangi dengan koleksi penerimaan yang juga belum optimal. Semua target pendapatan harusnya deviasinya lebih kecil, kemudian rencana belanja juga harusnya sesuai yang ada di pagu supaya betul-betul optimal," papar Askolani di acara yang sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News