kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Koruptor tak lagi takut penjara dan neraka


Minggu, 08 Desember 2013 / 17:40 WIB
Koruptor tak lagi takut penjara dan neraka
ILUSTRASI. Promo Indomaret Hanya 3 Hari Periode 22-24 Juli 2022


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Perilaku korupsi di Indonesia sungguh sudah pada taraf yang mencemaskan. Para pelaku korupsi seolah tidak memiliki rasa takut pada konsekuensi hukum. Bahkan, seolah tidak takut pada konsekuensi hukum moral ajaran agama.

"Stamina dari pelaku korupsi sudah luar biasa. Keberanian mereka untuk korupsi sudah tidak takut lagi akan penjara dan neraka," ujar pengamat politik J. Kristiadi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (8/12).

Ia berpendapat, sistem politik di Indonesia berperan besar dalam menciptakan koruptor. Dalam sistem demokrasi Indonesia, kata dia, para politisi dituntut berebut untuk mendapatkan suara konstituen.

Salah satu cara yang dianggap paling mudah untuk mendulang suara adalah politik uang, membeli suara. Menurut Kristiadi, para politisi menganggap praktik ini sebagai hal yang biasa. "Ini gejala yang sudah menghancurkan. Politik uang dianggap sudah menjadi barang biasa, ini mengerikan," kata dia.

Kristiadi mencontohkan, seorang caleg yang berasal dari daerah pemilihan tempat penghasil tambang dengan jumlah penduduk 200.000 orang bisa menghabiskan dana kampanye sampai Rp 40 miliar. "Ini gila. Duit dari mana itu? Bagaimana caranya untuk kembalikan uang, kalau bukan korupsi?" tutur Kristiadi.

Bibit-bibit politik uang saat melakukan kampanye akan menjadikan seorang wakil rakyat melakukan korupsi ketika menjabat. Sehingga, Kristiadi tak heran saat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan adanya pola transaksi "gemuk" satu tahun sebelum dan satu tahun setelah pelaksanaan Pemilu.

Ia berharap agar epicentrum perlawanan politik uang seperti Indonesia Corruption Watch, Perludem, PPATK, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bersatu padu melakukan penetrasi untuk memberantas korupsi. "Semangat untuk menolak politik uang harus dibangun di masyarakat," katanya. (Sabrina Asril)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×