kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.917   13,00   0,08%
  • IDX 7.201   60,44   0,85%
  • KOMPAS100 1.107   12,17   1,11%
  • LQ45 879   12,50   1,44%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,62   1,49%
  • IDXHIDIV20 541   6,13   1,15%
  • IDX80 127   1,51   1,20%
  • IDXV30 134   0,46   0,35%
  • IDXQ30 149   1,78   1,20%

Korupsi menghantui proyek infrastruktur


Rabu, 18 Juli 2018 / 10:39 WIB
Korupsi menghantui proyek infrastruktur
ILUSTRASI. Alat berat mengerjakan proyek infrastruktur


Reporter: Andi M Arief | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1 menambah panjang daftar proyek infrastruktur yang menjadi bancakan para koruptor. Tidak hanya di pusat, korupsi di bidang infrastruktur juga terjadi di daerah.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, pada tahun lalu ada sebanyak 241 kasus korupsi dan suap yang terkait pengadaan sektor infrastruktur. Akibatnya, negara merugi Rp 1,5 triliun dengan nilai suap mencapai Rp 34 miliar.

Jumlah perkara korupsi pengadaan infrastruktur tahun 2017 lebih tinggi dibandingkan tahun 2016. Ini terlihat dari nilai kerugian negara yang lebih tinggi tahun lalu. ICW mencatat kerugian negara pada tahun 2016 akibat korupsi pengadaan infrastruktur hanya Rp 680 miliar.

Penelitian ICW juga menunjukkan, pada tahun 2017, sebanyak 27,4% korupsi terjadi pada sektor infrastruktur. Itulah sebabnya korupsi pada sektor infrastruktur menempati posisi teratas dalam ranking pengembangan kasus terbesar 2017. Dari sejumlah kasus itu, kasus suap proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menempati rangking teratas.

Korupsi proyek transportasi menempati tempat pertama dengan 38 kasus dan membuat kerugian negara senilai Rp 575 miliar. Setelah itu diikuti oleh sektor pendidikan dengan nilai kerugian negara Rp 43,4 miliar (14 kasus) dan korupsi pembangunan infrastruktur desa dengan nilai Rp 7,9 miliar dalam 23 kasus. "Dalam masalah PLTU Riau, hal tersebut terkait dengan korupsi pada proses pengadaan di pemerintah," kata Wana Alamsyah, anggota Divisi Investigasi ICW, Selasa (17/7).

Untuk mengatasi celah penyelewengan anggaran infrastruktur, Wana bilang, pemerintah perlu menerapkan penggunaan sistem pencatatan secara terpusat. Caranya adalah dengan memaksimalkan e-catalog dan e-purchasing, agar setiap proses pengadaan terpantau.

Terkonsentrasi di Jawa

Sistem terpusat memang perlu dimaksimalkan karena korupsi pembangunan infrastruktur paling banyak terjadi di daerah. Menurut catatan ICW, dari 158 kasus korupsi infrastruktur pada 2017, sebanyak 21 kasus terjadi di Jawa Barat, 18 di Jawa Timur, 11 di Sumatera Utara. "Jumlah sebaran kabupaten di wilayah itu sangat banyak dibandingkan dengan wilayah lainnya," lanjut Wana.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai, pengawasan atas proyek infrastruktur saat ini belum efektif. Hal itu karena pengawasan di daerah lebih diarahkan mengatasi persoalan hukum yang menghambat proyek. "Potensi pelanggaran besar. (Terlebih) beberapa proyek dipaksakan selesai 2019, sehingga membuka celah untuk bermain-main dengan anggaran negara" tutur Zainal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×