Reporter: Fahriyadi | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kepala Badan Pembinaan Konstruksi (BP Konstruksi) Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Hediyanto W. Husaini menyatakan perusahaan kontraktor Indonesia memiliki kelemahan dalam pemahaman mengenai standarisasi kontrak Internasional. Kelemahan ini yang akan coba diperbaiki oleh pemerintah dengan memberikan edukasi tentang pentingnya menguasai pemahaman soal standar kontrak Internasional.
"Sebenarnya beberapa kontraktor Indonesia sudah melakukan pekerjaan di luar negeri. Ada yang bekerja di Arab Saudi, Aljazair, Dubai, dan Libya namun kebanyakan sebatas sub kontraktor," ujar Hediyanto kepada KONTAN, Kamis (13/6).
Menurut Hediyanto, pemerintah akan mendorong para kontraktor ini untuk berada di depan sebagai kontraktor utama dan tidak lagi sebagai sub kontraktor. Hediyanto menambahkan, sebagai sub kontraktor, para kontraktor Indonesia hanya mengerjakan konstruksi dilapangan.
Sedangkan pengurusan kontrak secara hukumnya dilakukan oleh kontraktor utama yang kebanyakan adalah perusahaan asing. "Umumnya itu terjadi karena kontraktor kita belum memiliki lawyer yang kuat dan memahami kontrak Internasional tersebut," imbuh Hediyanto.
Menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Hediyanto mengungkapkan, pangsa pasar konstruksi bagi para kontraktor Indonesia semakin lebar. Oleh karena itu, para kontraktor nasional harus bersiap diri untuk mendalami soal standar kontrak Internasional.
Pada tahun 2013 ini, lanjut dia, para kontraktor sudah diperkenalkan dan diujicobakan mekanisme kontrak berbasis kinerja atau Performance Base Contract (PBC). "Kami juga ingin tahu apakah PBC yang pernah diuji coba sama atau tidak dengan standar internasional itu. kalau sama, kita perdalam saja," tuturnya. Hediyanto mengaku, dalam PBC memang lebih banyak unsur komprominya jika terjadi sengketa dalam perjanjian kontrak tersebut.
Mampu Bersaing
Lebih lanjut, Hediyanto menegaskan, secara kemampuan teknologi dan Sumberdaya Manusia (SDM) kontraktor Indonesia cukup mumpuni dan berkualitas untuk bersaing dengan kontraktor asing.
"Permasalahannya sekarang, kontraktor Indonesia kadang takut berada di depan dan lebih memilih menjadi subkontraktor. Hal ini karena kurang pengalaman dan jam terbang, terlebih para kontraktor juga belum punya jaringan untuk lawyer-lawyer kuat dalam standar kontrak internasional," ucapnya.
Ia berpandangan, bahwa jika para kontraktor enggan memahami standar kontrak Internasional dengan alasan menghindari sengketa, maka dapat dipastikan ekspansi kontraktor ini sulit diwujudkan. "Mereka (para kontraktor) harus belajar di luar negeri dan jangan hanya jadi jago kandang," tandasnya.
Dari banyak perusahaan kontraktor di Indonesia yang punya pengalaman menggarap pekerjaan di luar negeri, ada sekitar 5 kontraktor swasta dan 3 kontraktor BUMN yang berpengalaman memegang proyek di sekitar ASEAN dan Timur Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News