Reporter: Dadan M. Ramdan, Fahriyadi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak berhenti membuat kontroversi. Setelah menggusur kios pedagang di stasiun dengan dalih meningkatkan pelayanan, mereka berencana menghapus layanan kereta rel listrik (KRL) ekonomi mulai April. Sontak, rencana itu menuai reaksi keras dari warga pengguna transportasi massal tersebut.
Senin (25/3), ratusan pengguna KRL bertarif murah melakukan aksi protes dengan memblokade jalur kereta di Stasiun Bekasi Jawa Barat. Akibatnya, lalu lintas kereta sempat terganggu.
Sekadar tahu, selama ini, KRL ekonomi sangat membantu warga berpenghasilan minim yang nglajo bekerja di Ibukota. Tarif KRL ekonomi cuma Rp 1.500- Rp 2000 sekali jalan. Sedangkan tarif baru KRL commuter line sebesar Rp 8.000–Rp 8.500. Direktur Utama PT KAI Commuter Jakarta (KCJ), Tri Handoyo dikutip Antara menyebut penghentian KRL non-AC tujuannya untuk meminimalisir gangguan perjalanan KRL.
Aryo Nugroho, penggiat komunitas KRL Mania mengungkapkan, PT KAI tidak bisa begitu saja menghapus KRL ekonomi. Sebab, belum tentu semua masyarakat mampu membeli tiket KRL commuter line. Lagi pula, pemerintah punya kewajiban menyediakan transportasi massal yang aman dan terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.
Kewajiban ini tertuang dalam pasal 152 dan 153 UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian. Nah, sebelum menghapus KRL ekonomi, PT KAI harus mengadakan survei terkait mengenai daya beli masyarakat. "Kebijakan penghapusan KRL ekonomi juga bukan kewenangan PT KAI, tapi pemerintah," katanya kepada KONTAN, Senin (25/3).
Irsan, warga Bogor yang bekerja sebagai satpam di Jakarta mengaku sangat bergantung kepada KRL ekonomi. "Dengan gaji pas-pasan, saya terbantu dengan KRL ekonomi. Bisa meringankan ongkos," ujarnya.
Ayah dua anak ini menuturkan, bila KRL non-AC ini ditiadakan tentu biaya transportasi makin mahal, sedikitnya Rp 17.000 sehari. "Kalau ngecer naik angkot dan bus dari Bogor ke Jakarta, malah ongkosnya bisa lebih dari Rp 25.000, belum macetnya. Gaji habis buat ongkos," keluh Irsan.
Keluhan Irsan ini yang menjadi aspirasi bagi beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak kebijakan penghapusan KRL ekonomi. Yudi Widiana, Anggota Komisi V DPR menegaskan, PT KAI tidak bisa menghentikan secara sepihak KRL ekonomi karena tak memiliki kewenangan.
Yudi tidak keberatan dengan rencana kereta ekonomi. Asalkan, pemerintah menanggung selisih tarif kereta yang harus ditanggung masyarakat berpenghasilan rendah.
Bambang S. Ervan, Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Perhubungan menyatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian BUMN dan PT KAI mengenai selisih tarif dari KRL ekonomi ke KRL commuter line. "Tak perlu khawatir dengan kebijakan ini. Selisih tarif dibayarkan melalui dana PSO," ujarnya.
Sayang hingga kini mekanisme subsidi belum jelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News