kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.942.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.490   100,00   0,61%
  • IDX 6.787   -120,00   -1,74%
  • KOMPAS100 980   -16,66   -1,67%
  • LQ45 754   -11,11   -1,45%
  • ISSI 221   -4,23   -1,88%
  • IDX30 391   -6,58   -1,66%
  • IDXHIDIV20 457   -9,06   -1,95%
  • IDX80 110   -1,76   -1,57%
  • IDXV30 113   -1,97   -1,71%
  • IDXQ30 126   -2,46   -1,91%

Konflik Iran dan Israel Picu Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Inflasi Global


Senin, 23 Juni 2025 / 15:25 WIB
Konflik Iran dan Israel Picu Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Inflasi Global
ILUSTRASI. INDEF melihat, dampak dari konflik Iran dan Israel yang kian memanas berpotensi membuat harga minyak terbak dan berdampak ke inflasi global


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketegangan yang semakin meningkat antara Iran dan Israel, khususnya dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS), berpotensi menyebabkan efek ekonomi yang signifikan baik secara global maupun domestik.

Efek yang paling terlihat adalah kenaikan harga minyak dan volatilitas di pasar keuangan bisa memperburuk inflasi serta menekan daya beli masyarakat global, terutama di negara-negara yang mengimpor seperti Indonesia.

M Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa konflik antara Iran dan Israel yang melibatkan AS bisa berdampak serius terhadap ekonomi, baik secara global maupun domestik.

“Meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, terlebih dengan keterlibatan langsung AS menyulut risiko geopolitik kawasan yang memiliki peran sentral dalam pasokan energi global,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Senin (23/5).

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melonjak, Pertamina Evaluasi Harga BBM Non-Subsidi

Ia menjelaskan juga bahwa lonjakan harga minyak dan gangguan di alur perdagangan utama seperti Selat Hormuz bisa memicu inflasi dan menekan daya beli masyarakat global, termasuk Indonesia.

Rizal bilang, situasi ini meningkatkan risiko terjadinya stagnasi ekonomi global.

“Potensi pelemahan ekonomi global sangat terbuka, terlebih di tengah rezim suku bunga tinggi dan arus perdagangan internasional yang belum pulih sepenuhnya,” jelas Rizal.

Ia menegaskan bahwa dampak domino dari situasi ini adalah penurunan daya beli dan investasi di antara negara-negara konsumen energi, sehingga memperbesar risiko terjadinya stagflasi.

Dia menambahkan, dampaknya pada Indonesia terasa dari segi fiskal dan inflasi karena tingginya ketergantungan terhadap impor energi.

Rizal menekankan bahwa jika harga minyak terus meroket, tekanan pada fiskal akan meningkat, dan inflasi, terutama pada sektor transportasi dan logistik, akan sulit dihindari.

Menurutnya, pemerintah berpotensi akan berusaha untuk menjaga harga Bahan Bakar Minyak (BBM) agar tetap stabil melalui subsidi tambahan.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melonjak, Anggota DPR Ini Minta Pemerintah Antisipasi Fiskal

“Kemungkinan besar pemerintah akan memilih mempertahankan harga BBM domestik melalui penambahan alokasi subsidi dan kompensasi energi, alih-alih melakukan penyesuaian harga yang berisiko memicu instabilitas sosial,” kata Rizal.

Namun, Rizal mengingatkan bahwa kebijakan seperti itu tidak bisa bertahan dalam jangka panjang.

“Secara struktural, kebijakan semacam ini tidak berkelanjutan tanpa disertai reformasi energi dan peralihan ke energi domestik berbasis transisi hijau,” ucap Rizal.

Menurut Rizal, dampak lainnya adalah fluktuasi harga komoditas strategis seperti minyak dan emas.

“Konflik geopolitik semacam ini selalu memicu volatilitas tinggi pada harga komoditas strategis. Harga minyak dan gas meroket, sementara emas melonjak karena berfungsi sebagai aset lindung nilai,” tegas Rizal.

Rizal juga mengingatkan kemungkinan tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat arus modal keluar.

“Ketegangan geopolitik jelas meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, terutama melalui mekanisme arus modal keluar dan penguatan dolar AS,” tambah Rizal.

Dalam situasi ini, Rizal menyarankan agar Bank Indonesia (BI) perlu memperkuat kebijakan dengan intervensi valas yang terukur, sinyal suku bunga yang terpercaya, dan lerjasama yang kuat dengan pihak fiskal untuk menjaga ekspektasi pasar.

Selanjutnya: Strategi BPD Bali Bidik Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga Simpeda 1,5% pada 2025

Menarik Dibaca: Coba Metode Pembersihan 6/10, Begini Cara Bertahan di Rumah Sepanjang 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×