Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Gabungan lembaga swadaya masyarakat, diantaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Tambang dan YLBHI menyatakan, jumlah pengunjuk rasa dari Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) yang tewas di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (24/12) sebanyak tiga orang.
Korban tewas adalah Arief Rahman (19), Syaiful (17) dan Ansyari (20). Ketiga tewas setelah diterjang peluru yang diyakini berasal dari pihak aparat keamanan yang terdiri dari 250 personel Polres Kota Bima, 60 personel gabungan intel dan Bareskrim, serta 60 personel Brimob Polda NTB.
Ketiga korban, bersama puluhan pengunjuk rasa lainnya, menutup jalur lalu lintas ke Pelabuhan Sape sejak 20 Desember 2011. Informasi dari Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Saud Usman Nasution menyebutkan, pengunjuk rasa ini menuntut pencabutan SK Bupati Bima Nomor 188 Tahun 2010 tentang izin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan pembebasan seseorang berinisial AS, tersangka pembakaran kantor Camat Lumbu yang terjadi pada 10 Maret 2011 dan telah diserahkan ke kejaksaan.
Ketua Badan Pengurus Jaringan Tambang, Siti Maemunah mengatakan, tuntutan pencabutan izin pertambangan tersebut didasari atas kekhawatiran warga bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT SMN mengganggu mata pencarian mereka.
Maemunah mengatakan, sebagian besar saham PT SMN dimiliki oleh PT Arc Exploration Ltd dari Australia. Penerbitan SK baru bernomor 188/45/357/004/2010 memberi izin kepada PT SMN untuk mengeksplorasi lahan seluas 24.980 hektar. "Warga sebagian besar penduduknya bertani dan nelayan. Tambang itu akan membongkar tanah dan mengganggu sumber air. Tentunya ini akan mengganggu pertanian warga," kata Maemunah pada jumpa pers di Jakarta pada hari yang sama.
Berdasarkan versi gabungan LSM ini, pada Sabtu pagi, sebuah pertemuan digelar di kantor Kecamatan Lambu. Namun, pertemuan tersebut tak membuahkan kesepakatan. Warga pun kecewa dan mendorong pintu kantor Kecamatan lambu. Namun, aksi ini dibalas aparat keamanan dengan menembakkan gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam. "Ratusan preman yang diorganisir aparat kecamatan memprovokasi warga. Bentrok tak bisa dihindari," kata Maemunah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News