kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ketika Bali dijual sangat murah di China


Rabu, 21 November 2018 / 17:27 WIB
Ketika Bali dijual sangat murah di China
ILUSTRASI. Wisatawan asal Tiongkok saat Imlek di Bali


Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska, Nina Dwiantika | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. China kini mendominasi angka kunjungan wisa-tawan mancanegara ke Bali. Mulai tahun lalu, jumlah turis Tiongkok mengalahkan pelancong dari Australia.

Tapi, jumlah turis China yang terus mendaki dan memuncaki kunjungan wisatawan asing ke Bali dibumbui kabar tak sedap. Muncul dugaan, pulau dewata dijual sangat murah. Ketut Ardana, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Bali, menyebutnya sebagai perjalanan berbiaya murah atawa zero tour fee. Dan, di balik paket wisata sangat murah itu, ada permainan mafia asal China.

Mereka menerapkan sistem subsidi per kepala kepada setiap turis Tiongkok, sehingga bisa mengobral paket wisata ke Bali dengan sangat murah. Ditengarai, salah satu pelaku utama yang menjual secara obral paket wisata tersebut adalah para pengusaha China yang punya bisnis suvenir di Bali.

Bekerja sama dengan agen wisata dari China, pemilik toko itu yang mensubsidi wisatawan ke Bali. Sebagai kompensasi, biro perjalanan tersebut harus membawa para turis masuk ke toko-toko mereka dan wajib membeli barang yang ditawarkan dengan harga tinggi. Ini demi mengembalikan subsidi yang mereka keluarkan.

Diperkirakan, lebih dari 60% turis China yang pelesiran ke Bali ikut paket wisata itu. Hingga September lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat, jumlah wisatawan China mencapai 1,08 juta orang.

Asita Bali menengarai, praktik subsidi per kepala tersebut sudah berlangsung sejak turis China mulai membanjiri Bali sekitar 2006 lalu. Tapi, belakangan kian meresahkan lantaran tarif paket wisata yang dipatok semakin murah.

Data setahun terakhir, Bali hanya dijual seharga 999 renminbi, atau sekitar Rp 2 juta per turis. Harga miring ini sudah termasuk tiket pesawat pergi-pulang, makan dan menginap di hotel selama 5 hari 4 malam.

Merusak citra

Belakangan, harganya turun menjadi 777 renminbi atau Rp 1,5 juta. Lalu, turun lagi jadi 499 renminbi alias sekitar Rp 1 juta. Yang teranyar, hanya 299 renminbi atau berkisar Rp 600.000. Dengan 299 renminbi, seorang turis sudah dapat tiket pesawat pergi-pulang, makan, serta hotel selama 5 hari 4 malam.

Padahal, tarif normal paket wisata selama 5 hari 4 malam di Bali mencapai Rp 7,5 juta per orang. Paket-paket wisata murah yang dipraktikkan turis China ini jelas merusak dan merugikan citra pariwisata Bali, tegas Elsye Deliana, Ketua Divisi Bali Liang (Pangsa Pasar Mandarin) Asita.

Soalnya, dengan membayar murah, para wisatawan akan lebih banyak menyambangi toko-toko milik pengusaha China yang memberikan subsidi. Alhasil. waktu kunjungan ke objek-objek wisata di Bali pun menjadi sangat sedikit.

Menurut Ardana, anggota Asita di Bali yang menjadi rekanan travel agent dari China tak bisa menolak agenda kunjungan ke toko-toko itu. Itu sudah menjadi jadwal yang telah ditetapkan oleh travel agent dari China, ungkapnya.

Saat ini, terdapat sekitar 60 anggota Asita yang menangani wisatawan China. Sebenarnya, anggota kami sudah gerah dengan cara-cara seperti ini. Dan, sudah tidak bisa lagi bekerja seperti ini, ujar Ardana.

Lantaran minim kunjungan ke objek-objek wisata, turis China hampir dipastikan tidak tahu betul soal Bali. Jadi, mereka beranggapan, Bali tidak menarik dan murahan. Isinya hanya toko-toko saja, kata Ardana. Bila terus dibiarkan, praktik semacam itu bisa membuat jumlah kunjungan pelancong China menyusut.

Padahal, potensi kunjungan turis China sangat besar. Ardana menyatakan, masyarakat China yang sudah memegang paspor lebih dari 200 juta orang. Sementara yang jalan-jalan ke Bali baru 1,3 juta orang pada tahun lalu. Jadi, Bali belum dapat 1%-nya, sebut dia.

Tambah lagi, banyak masyarakat China kini punya penghasilan lumayan tinggi, seiring terus berkembangnya ekonomi negara itu. Nah, kalau mereka punya duit untuk beli, ngapain sih jual sampai banting harga murah banget, kan, logikanya begitu, kata Ardana.

Tidak pakai rupiah

Ardana menuturkan, saatnya pemerintah mengambil sikap tegas mengatasi masalah ini. Apa lagi bukan saja merugikan pariwisata Bali, paket wisata murah wisatawan China tersebut juga merugikan Indonesia.Pasalnya, toko-toko China di Bali menggunakan metode pembayaran nontunai, dengan mata uang renminbi lewat WeChat Pay dan Alipay. Selain buat percakapan instan (chatting), aplikasi buatan China itu bisa juga untuk memesan barang, memberikan review produk, transfer dana, termasuk melakukan pembayaran.

Nah, dengan transaksi nontunai tersebut, wisatawan China yang berpelesir ke Bali jarang membawa dollar Amerika Serikat (AS) dalam jumlah besar. Sementara dengan transaksi nontunai lewat WeChat Pay dan Alipay, uang yang mereka belanjakan saat di Bali otomatis langsung kembali ke negaranya, sehingga tidak kena pajak dan enggak ada devisa yang masuk ke Indonesia. Tak heran, penerimaan devisa dari kunjungan turis China sangat minim.

Dari catatan Bank Indonesia (BI), rata-rata pengeluaran wisatawan Tiongkok di Bali hanya sebesar Rp 9,6 juta per orang. Sedang pengeluaran turis Jepang mencapai Rp 11,19 juta seorang, Australia Rp 13,4 juta, dan Eropa Rp 15,7 juta.

Salah satu penyebab tidak optimalnya penerimaan devisa tersebut adalah praktik zero tour fee. Praktik ini menyebabkan lost opportunity sekitar US$ 205 per turis. Jika potensi itu dikalikan total wisatawan China yang datang ke Indonesia sepanjang 20142017, maka totalnya mencapai US$ 260 juta atau setara Rp 3,9 triliun.

Toko-toko milik pengusaha China itu juga menyalahi aturan karena mempekerjakan tenaga asing asal negaranya. Ditambah lagi, seluruh toko itu tidak menjual barang-barang kerajinan khas Bali. Barang-barang yang mereka jual merupakan produk impor dari China. Misalnya, kasur berbahan karet atawa latex, kain sutra, dan obat-obatan.

Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Wakil Gubernur Bali, memastikan, pihaknya sudah mengambil tindakan tegas terhadap toko-toko yang dicurigai melakukan tindakan curang tersebut. Bahkan, Gubernur Bali Wayan Koster pada 8 November lalu sudah menerbitkan surat edaran yang berisi instruksi kepada bupati dan wali kota di seluruh Bali untuk menutup toko-toko milik pengusaha China yang terbukti melakukan praktik curang itu.

Saat ini, tercatat ada 16 toko yang akan ditutup. Semuanya berlokasi di Kabupaten Badung. Dan, sejauh ini sudah lima toko yang disegel oleh pemerintah daerah setempat. Bali sangat dirugikan, bahkan Indonesia juga dirugikan, karena kita tidak dapat pajak dan lain-lain, tegas Cok Ace, panggilan akrab wakil gubernur Bali.

Tindakan BI

Tak ketinggalan, BI selaku otoritas sistem pembayaran melakukan langkah tegas. Sugeng, Deputi Gubernur BI, bilang, BI sudah memanggil Alipay dan WeChat untuk memenuhi ketentuan bank sentral. Yakni, melakukan kerja sama dengan perusahaan switching lokal sesuai Peraturan BI Nomor 20/VI/PBI/2018 tentang Penyelenggaran Uang Elektronik.

Saat ini, Alipay telah menghentikan sementara layanannya untuk menyesuaikan dengan ketentuan BI. Sedangkan WeChat memilih bermitra dengan bank lokal kategori BUKU IV. Alipay juga tengah mengajukan kerja sama dengan bank BUKU IV. Kami terus monitor perkembangannya, ujar Sugeng.

Ya, pamor Bali sebagai destinasi wisata terbaik sedunia versi TripAdvisor tidak boleh redup, tetap terus bersinar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×