Reporter: Bidara Pink, Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Secara mengejutkan, Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuannya alias BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) bulan ini. Tak tanggung-tanggung, kenaikan bunganya sebesar 50 basis poin (bps), lebih tinggi ketimbang proyeksi para analis.
Dengan begitu, BI mengerek suku bunga acuan 75 bps sejak Agustus 2022 ke level 4,25%. Sementara, suku bunga deposit facility naik menjadi 3,5% dan suku bunga lending facility menjadi 5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, keputusan ini dengan pertimbangan sebagai langkah front-loaded, pre-emptive, dan forward looking agar bisa menurunkan ekspektasi inflasi dan inflasi inti.
"Ini untuk memastikan inflasi inti kembali ke kisaran sasaran, yaitu 3% plus minus 1% paruh kedua tahun 2023," tutur Perry, Kamis (22/9).
Baca Juga: Dorong Pertumbuhan Ekonomi Lebih Kencang, Pengembangan Sektor Baru Mendesak
BI menyebut kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mengerek inflasi September hingga 5,89% year on year (yoy). Prediksi BI tambahan inflasi akibat kebijakan BBM sekitar 1,8%-1,9%
Alhasil, inflasi umum akhir 2022 akan melampaui 6% yoy. Sedangkan inflasi inti dengan hitungan fundamental pada akhir tahun 2022 diperkirakan menyentuh level 4,6% yoy.
Selain mengendalikan inflasi, kebijakan moneter ketat juga bertujuan agar kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terkendali dalam menghadapi gejolak di pasar global terutama akibat kebijakan agresif Bank Sentral Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa mengerek suku bunga.
Rabu (21/9) The Fed mengerek suku bunga sebesar 75 bps untuk kali ketiga menjadi 3,00%-3,25%. Artinya spread antara BI Rate dengan Fed Fund Rate di kisaran 75 bps-100 bps.
Baca Juga: Bank Mandiri Membutuhkan Waktu untuk Penyesuaian Bunga Produk Perbankan
Efeknya, dollar AS menguat dan kurs rupiah pada perdagangan Kamis (22/9) menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Kamis (22/9), rupiah di level Rp 15.011 per dollar AS. Sepanjang tahun ini rupiah melemah 4,97% atau year to date.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang BI semestinya tak perlu merespons kondisi ini dengan kebijakan moneter agresif seperti The Fed.
Kata dia, kebijakan ini kurang tepat lantaran berdampak terhadap perlambatan ekonomi yang signifikan. Kenaikan bunga yang tak terlalu agresif akan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang juga menjadi pertimbangan dari investor.
Bagi Josua, investor asing tidak semata-mata mempertimbangkan nominal spread suku bunga kebijakan maupun spread imbal hasil obligasi. "Investor mempertimbangkan real yield dan real policy rate atau seberapa efektif kenaikan suku bunga dapat mengendalikan inflasi," katanya.
Baca Juga: Gencar Tanamkan Investasi, Analis Rekomendasikan Akumulasi Beli Saham ASII
Analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz melihat, kenaikan bunga akan menggerek imbal hasil domestik. Tidak hanya untuk asing tetapi juga investor domestik. Ia melihat, kenaikan suku bunga juga diperlukan agar investasi di Indonesia di mata investor asing, tetap menarik.
Adapun Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai, kenaikan suku bunga akan efektif menekan ekspektasi inflasi ke depan. Riefky memperkirakan kenaikan suku bunga berlanjut hingga akhir 2022.
Ia melihat, ada ruang bagi BI menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali lagi. "Antara 25 bps-50 bps, tergantung perkembangan inflasi ke depan," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News