Reporter: Ratih Waseso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Hukum dan HAM (KemenKumHAM) mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana masih dalam koordinasi antar instansi.
"Sampai saat ini masih koordinasi antar instansi, jadi belum ada pembahasan," kata Kepala Biro Humas Hukum dan Kerjasama (Kahukerma) Kementerian Hukum dan HAM (KemenKumHAM) Hantor Situmorang, Minggu (4/12).
Sebagai informasi RUU tersebut baru akan masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas pada tahun depan.
Pasalnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI baru menyepakati Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2023.
Dalam 41 RUU Prioritas Tahun 2023 tersebut, salah satunya ialah Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana.
Baca Juga: Tolak Revisi UU IKN, Fraksi PKS: Bukan Momen yang Tepat
Penetapan ini berlangsung dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI bersama Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly dan DPD RI pada 23 November kemarin.
Dihubungi Kontan.co.id, Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan akan menunggu Prolegnas ditetapkan dalam sidang paripurna.
Ia menjelaskan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana baru masuk prioritas 2023 lantaran kesepakatan pemerintah dan DPR baru terjadi sekarang. Sayang Ia tak menjabarkan mengapa kesepakatan baru ditemui sekarang.
"Itu juga kan masuk 2023. [Kenapa baru tahun depan karena] baru disepakati antara Pemerintah dan DPR," kata Supratman.
Padahal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mendorong adanya pembahasan RUU tersebut. PPATK sejak 2021 sudah meminta agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2022.
PPATK bahkan sempat mengajukan pembahasan RUU ini saat Rapat Kerja bersama Komisi III DPR pada 5 April 2022.
Baca Juga: Provinsi Kepulauan Sepakat Perjuangkan RUU Daerah Kepulauan
Dalam berita KONTAN sebelumnya, Pembahasan RUU dalam rangka untuk mengantisipasi adanya kekosongan hukum dalam penyelamatan aset. Khususnya aset yang dimiliki atau dikuasai oleh pelaku tindak pidana yang telah meninggal dunia, serta aset yang terindikasi tindak pidana (tainted asset) namun sulit dibuktikan pada peradilan pidana.
Aset-aset yang gagal dirampas untuk negara, berdampak pada status aset dimaksud yang akan menjadi aset “status quo”. Hal ini akan sangat merugikan penerimaan negara, khususnya dari PNBP yang berasal dari penegakan hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News