Reporter: Markus Sumartomdjon | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak pertengahan Juni 2020 jumlah kasus baru terkonfirmasi positif corona di Indonesia berada di kisaran 1.000 kasus per harinya. Banyak pihak yang khawatir dengan tambahan jumlah kasus corona di Indonesia. Meski begitu Gugus Tugas Nasional menyatakan hal tersebut tidak serta merta menunjukkan angka positivity rate juga tinggi, yakni perbandingan antara jumlah orang yang sudah melakukan pemeriksaan tes corona dan jumlah orang yang positif terkena corona.
Epidemiolog Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah menerangkan, positivity rate tidak hanya dilihat dari angkanya saja, melainkan dari jumlah orang yang diperiksa. Secara nasional positivity rate Indonesia mencapai 12%, jadi masih di atas standar positivity rate yang ditetapkan WHO yaitu sebesar 5%. Namun jika dibandingkan bulan Mei lalu positivity rate saat ini lebih rendah.
Baca Juga: Redam corona, Khofifah bagikan dua juta masker dari Jokowi
“Di pertengahan Mei ada 3.448 orang positif dalam waktu satu minggu. Orang yang diperiksa itu ada 26.000 orang. Jadi dari 26.000 orang ada 3.000 yang positif. Sehingga, angka positivity nya adalah 13%,” jelas Dewi, dalam paparannya, Kamis (2/7).
Baca Juga: Jumlah pasien sembuh corona di RS Lapangan sudah mencapai 72,9%
Dewi menambahkan data di bulan Juni kemarin adalah rata-rata ada 8.000 kasus baru dalam satu minggu dan orang yang diperiksa mencapai 55.000 per minggunya sehingga saat ini positivity rate nya 12%. Dengan demikian dapat dikatakan kecepatan penularan melambat dari bulan sebelumnya.
Lebih lanjut Dewi menjelaskan jika angka nasional 12% maka setiap kabupaten-kota memiliki cerita yang berbeda jika ditelaah dari jumlah orang positif dibandingkan dengan jumlah orang yang diperiksa.
“Jumlah kasus terbanyak memang dari Surabaya, tapi begitu dilihat dengan perbandingan 100.000 penduduk, ceritanya jadi berbeda. Walaupun Surabaya masuk lima besar, tapi kalau dari provinsi tidak masuk ke 5 besar,” ujarnya.
Kepadatan memang jadi salah satu faktor risiko dalam penularan Covid-19. Untuk saat ini, laju insidensi terkait dengan rumusnya berdasarkan padatnya jumlah penduduk. “Kita bisa melihat bahwa Jawa Timur merupakan zona titik merah, padahal kalo saya melihat Jawa Timur dengan seluruh kabupaten kotanya, ternyata dari semua kabupaten kotanya itu tidak semua itu angkanya tinggi,” ungkapnya.
Perbandingan positivity rate juga dapat dilihat dari jauhnya perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah kasusnya.
“Peringkat pertama Kota Surabaya dengan jumlah kasus 5.700, tapi ternyata peringkat keduanya Kabupaten Sidoarjo dengan 1.387 kasus yaitu seperempat kasus dari Surabaya, peringkat ketiganya Gresik itu sepersepuluh dari kasus Surabaya, apalagi yang terkecil di Ngawi hanya sekitar 23 kasus,” tegasnya.
Jadi ketika berbicara Indonesia, bahkan Jawa Timur saja dengan 30 lebih kabupaten-kota itu tidak bisa disamakan seluruhnya memasuki zona merah.
Adapun di Jawa tengah, daerah yang justru terlihat memiliki kondisi yang cukup parah, ternyata mungkin kondisinya tidak separah atau seburuk yang dibayangkan jika dilihat dalam bentuk yang lebih luas lagi.
“Jadi kalau kita lihat kasus pertama ada di Semarang, dengan jumlah 1.774 kasus dengan insidensinya yang tinggi, kemudian yang keduanya ada Kabuaten Magelang yang angkanya hanya 48 kasus, ada juga Tegal hanya 6, dan Wonogiri juga hanya 9. Bayangkan kalo kita bilang Jawa Tengah ini kondisinya merah, padahal tidak semua bisa disamaratakan.”
Untuk itu angka ini akan menjadi pelajaran banyak dan melihat angka bukan haya melihat angka satu saja yang bulat, melainkan sebetulnya dilihat lebih jauh, pembandingnya, dan juga interpretasinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News