Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Dua pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden sudah muncul dan siap berlaga dalam Pemilu Presiden 2014. Saat hari kedua pasangan calon dideklarasikan kepada publik, Senin (19/5/2014), pasar merespons positif, dan respons itu berlanjut pada Selasa (20/5/2014).
Sentimen tersebut dinilai sebagai sinyal bahwa pasar tak mempermasalahkan komposisi kedua pasangan calon itu. Namun, bukan berarti tantangan para calon terkait sektor ekonomi sudah rampung. "Respons yang muncul memperlihatkan pasar tak bermasalah dengan kedua pasangan calon," kata ekonom Aviliani saat dihubungi, Selasa malam.
Terlebih lagi, ujar Aviliani, dua sosok bakal calon wakil presiden yang bakal berlaga juga sudah dikenal baik oleh pasar. "Sudah terukur, dua-duanya dianggap bisa bekerja, dan sudah ketahuan kinerjanya."
Dua pasangan bakal calon presiden itu adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang diusung poros PDI-P, serta pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dari poros Partai Gerindra. Kalla sudah lama malang melintang di dunia usaha dan pernah menjadi Wakil Presiden dengan bidang ekonomi sebagai tugasnya. Adapun jabatan terakhir Hatta adalah Menteri Koordinator Perekonomian.
Di poros PDI-P ada Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura. Adapun di poros Gerindra, bergabung Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, dan Partai Golkar.
Menurut Aviliani, sejauh ini platform ekonomi yang diajukan kedua pasangan calon juga belum mendatangkan sentimen negatif dari pasar. Terlebih lagi, secara garis besar, ada kemiripan di tataran ideal yang masuk dalam platform ekonomi kedua pasangan.
Salah satu anggota tim sukses pasangan Jokowi-JK, Eva Kusuma Sundari, mengatakan bahwa platform ekonomi pasangan ini adalah "Gotong Royong", lewat layanan pesan, Selasa malam. Adapun Wakil Ketua Umum PAN Dradjad Hari Wibowo menyebut konsep ekonomi pasangan Prabowo dan Hatta adalah "Ekonomi Kerakyatan", juga lewat layanan pesan pada Rabu (21/5/2014) pagi.
Tantangan
Bagi Aviliani, apa pun nama konsep yang diusung para kandidat, itu bukanlah persoalan. Namun, ada catatan yang dia bubuhkan. "Yang perlu di-declare ke publik, jangan sampai dua-duanya dianggap sebagai anti-asing. Bila sampai demikian, asing akan melihat adanya bahaya dan rentan terjadi reversal (pembalikan arus modal)," papar dia.
Aviliani kemudian menyebutkan setidaknya ada tiga tantangan utama bagi kedua pasangan calon. Ketiganya adalah kebijakan fiskal, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing.
"Kalau defisit anggaran terus membengkak, kredibilitas perekonomian Indonesia akan diragukan. Dampaknya, pelemahan rupiah akan langsung terjadi," kata Aviliani soal tantangan kebijakan fiskal. Menurut dia, di bidang ini, terobosan yang ditunggu dari siapa pun pasangan yang memenangi pemilu kelak adalah masalah kebijakan subsidi dan optimasi pajak.
Aviliani mengatakan, kebijakan subsidi, terutama terkait energi, harus bisa diubah menjadi program yang berkontribusi langsung pada pengentasan masyarakat miskin dan pembenahan infrastuktur. Adapun terkait optimasi pajak, dia berpendapat bahwa target yang dipatok jangan lagi mengejar wajib pajak yang itu-itu saja, tetapi harus diubah pada cakupan wajib pajak.
"Saat ini wajib pajak yang memenuhi kewajibannya sekitar 25 juta orang atau badan usaha. Sementara itu, datanya ada 50 juta wajib pajak kelas atas dan 100 juta wajib pajak kelas menengah," papar Aviliani.
Karenanya, kebijakan intensifikasi pajak tidak tepat bila dilakukan dengan memperbesar persentase kewajiban pajak ataupun mengejar wajib pajak yang itu-itu saja. "Yang sudah bayar jangan terus dipersulit. Transparansi pajak harus dihargai. Kejar yang belum bayar pajak."
Sementara itu, masalah penciptaan lapangan kerja, menurut Aviliani, merupakan problem yang lebih menantang lagi. Secara teori, papar dia, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen akan menyerap 200.000 tenaga kerja.
Padahal, kata Aviliani, angka pengangguran sekarang sekitar 2 juta orang. Artinya, bila pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 6 persen, masih ada potensi pengangguran bahwa sekitar 800.000 tenaga kerja tidak terserap. "Ada potensi konflik sosial di sini."
Adapun tantangan menyangkut daya saing, kata Aviliani, dalam bahasa gampangnya adalah kebutuhan untuk menggenjot ekspor demi menambah laju aliran dana masuk. "Selama ini yang dimainkan baru kebijakan moneter (untuk menjaga stabilitas ekonomi)," ujar dia. Indikasinya, sebut dia, kebijakan suku bunga masih terlalu dominan.
Kritik untuk program ideal
Meski berpendapat bahwa sosok para kandidat berikut platform yang diusung tak mendatangkan respons negatif dari pasar, Aviliani mengingatkan siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti untuk tak buru-buru memaksakan program ideal dalam platform mereka. "Program-program ideal itu butuh waktu lama untuk terwujud sepenuhnya," ujar dia.
Soal ketahanan pangan, misalnya, itu bukan program yang bisa terwujud dalam satu dua tahun. "Harus ada stabilisasi di tingkat petani," Aviliani memberikan gambaran. Dengan kepemilikan lahan petani masih di kisaran data saat ini, kata dia, target menambah produksi tak akan terjadi.
"(Platform ekonomi para kandidat) bagus di konsep, tetapi implementasi tak semudah itu," tekan Aviliani. Seruan untuk mengurangi impor dalam kondisi saat ini memberikan contoh lain. Bila dipaksakan, hal itu justru bisa memunculkan kekurangan pasokan bahan pangan.
"Selama ini tak terbangun buffer untuk pengaman bagi para petani," sebut Aviliani soal tantangan utama untuk pewujudan konsep ketahanan pangan yang diusung, baik oleh pasangan Jokowi-Kalla maupun Prabowo-Hatta. "Jaga petani jangan miskin!" pesan dia.
Sama halnya dengan pangan, Aviliani mengatakan bahwa ketahanan energi juga butuh waktu untuk bisa terealisasi. "Lima tahun menjabat dan jalankan kebijakan menuju ketahanan energi ini belum tentu ada hasilnya," kata dia. Untuk sektor energi, menggenjot produksi berarti butuh investasi teknologi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News