Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Partai Demokrat terlihat mati langkah menghadapi pemilihan presiden yang sudah menjelang. Semua pilihan yang sempat tersedia, sirna. Demokrat pun memilih menjadi penonton, menyaksikan pertarungan dua kubu, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Awalnya, Partai Demokrat tampak percaya diri dengan perolehan suara 10 persen dalam pemilu legislatif. Mereka menyebut capaian itu tak seburuk yang sempat diperkirakan banyak kalangan.
Capaian 10 persen itu masih menempatkan Partai Demokrat, partai pemenang dua pemilu berturut-turut, pada posisi empat besar setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, dan Partai Gerindra.
Namun, posisi yang masih diperhitungkan itu tak membuat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono segera melakukan manuver. Dia hanya memberi sinyal khusus kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk melakukan rekonsiliasi atas relasi mereka berdua yang retak sejak 2004, dan bertepuk sebelah tangan.
Selebihnya, SBY memilih diam pada saat tokoh-tokoh partai lain bergerilya mencari dukungan. Padahal, banyak partai mencoba mendekati partai ini. Bukan mendapatkan jawaban dan kepastian, partai-partai yang sempat mendekat malah furstasi dengan sikap SBY.
Partai Golkar misalnya, melalui Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad sempat mengeluhkan sikap SBY. Menurut Fadel, SBY tak mau menjalin kerja sama politik dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Prabowo pun belakangan mengaku kesulitan menemui SBY.
Partai Keadilan Sejahtera juga sempat menunggu manuver SBY. Namun, Ketua DPP PKS Sohibul Iman yang menjadi juru runding PKS, mengaku tak ada kemajuan dari pembicaraan dengan Partai Demokrat. Menurut Iman, Partai Demokrat tidak memiliki calon yang akan diusung. Di sisi lain, PKS sudah menjalin komunikasi lebih intensif dengan Partai Gerindra.
SBY berdalih Demokrat menunggu hasil Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Namun, ternyata elektabilitas 11 peserta konvensi juga tak mampu menyaingi Jokowi dan Prabowo. Pengumuman pemenang peserta konvensi juga baru dilakukan pada 16 Mei 2014, di saat hampir sebagian besar partai sudah memastikan bergabung ke salah satu di antara dua poros itu.
Poros ketiga
Setelah pengumuman perolehan suara sah nasional dilakukan Komisi Pemilihan Umum, Partai Demokrat baru menunjukkan gelagat berburu mitra koalisi. Hal ini terlihat dari pilihan SBY untuk membentuk poros ketiga di luar kubu Jokowi dan Prabowo. Baru pada saat itulah SBY akhirnya mau bertemu Aburizal. Pertemuan terjadi tepatnya pada Rabu, 14 Mei 2014.
Dalam pertemuan tersebut, SBY menawari Aburizal bergabung ke poros ketiga. SBY meminta Aburizal legawa bersama dirinya menjadi king maker dan tak maju sebagai bakal capres maupun cawapres.
SBY pun menginisiasi dibentuknya tim enam dari Partai Demokrat dan Partai Golkar untuk membahas poros baru ini. Namun, hasilnya mentok. Golkar dan Demokrat tak mencapai titik temu soal sosok yang akan diusung. Demokrat menginginkan Sultan Hamengkubuwono X. Sebaliknya, Golkar bersikeras mengajukan nama Aburizal Bakrie.
Setelah pembicaraan poros ketiga gugur, Golkar memilih merapat ke poros Prabowo di menit-menit terakhir. (Baca: Aburizal Bakrie, dari Capres, Cawapres, Hingga Tak Jadi Apa-apa). Demokrat pun cuma terdiam. Dalam penutupan rapat pimpinan nasional yang digelar pada Minggu (18/5/2014), mereka menyatakan tak akan masuk ke dalam salah satu poros yang ada.
Serba terlambat
Pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto, berpendapat tak masuknya Partai Demokrat dalam salah satu poros yang ada semata merupakan buntut dari kegamangan SBY sebagai ketua umum partai itu, dalam penentuan langkah politik.
"Akhirnya, saat ini semua serba terlambat. SBY sudah mati langkah," kata Nico saat dihubungi Selasa (20/5/2014). Namun, dia berpendapat pilihan paling realistis bagi Partai Demokrat memang bersikap netral. Menurut dia, menjadi petahana yang bersikap netral bakal menjadi peninggalan SBY selepas masa jabatannya.
"Kalau pun salah satu pihak menang, dia bisa punya atau merasa berkontribusi, dalam artian dia bisa menjaga pemerintahan tetap bersikap netral. Selama ini kan incumbent selalu dikhawatirkan mengerahkan aparat keamanan, birokrasi, dan unsur negara lainnya," ucap Nico.
Nico pun menyarankan Partai Demokrat menjadi seutuhnya oposisi. Semenjak didirikan, ujar dia, Partai Demokrat selalu masuk dalam pemerintahan. Untuk meningkatkan kualitas para kadernya, kata Nico, Demokrat harus berani mengambil pilihan menjadi oposisi.
Setidaknya, hingga Selasa berakhir, Demokrat masih terlihat membulatkan tekad dengan pilihannya berada di luar poros politik yang ada. Biarlah kerap dianggap terlambat bersikap, bila memang ada manfaat yang lebih besar dari sebuah sikap menjadi oposisi atau setidaknya berada di luar pemerintahan.
"Saya kira daya tahan Partai Demokrat ini akan teruji saat berada di luar pemerintahan," kata Nico. Asal jangan sudah terlambat, kemudian tiba-tiba menggeliat di saat yang tak tepat hanya untuk memaksakan langkah yang sudah telanjur lambat. (Sabrina Asril)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News