Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Persoalan ketimpangan dan kemiskinan akan terus menjadi pekerjaan rumah terberat bagi pemerintah. Pasalnya, setinggi apapun pertumbuhan ekonomi suatu negara belum bisa dinikmati secara menyeluruh oleh rakyatnya jika masih ada ketimpangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2017 mencapai 5,01%. Akan tetapi kondisi tersebut tidak diimbangi oleh turunnya angka rasio gini yang signifikan.
Pemerintah merilis angka rasio gini Maret lalu, yang menunjukkan, rasio ketimpangan kesejahteraan di Indonesia di level 0,393, turun hanya 0,001 poin dari rasio gini pada September.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro menyampaikan, angka rasio gini di Maret 2017 tersebut merupakan imbas booming harga komoditas sepanjang tahun 2006 – 2011.
“Commodity booming ini mengakibatkan kalangan teratas memiliki pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran yang lebih tinggi dibanding kalangan bawah,” terang Bambang pada Indonesia Development Forum (IDF) di Hotel Westin, Rabu (9/8).
Ia mengakui jika memang selama ini pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kalangan teratas yang jumlahnya sekitar 10% - 20% dari total penduduk Indonesia. Maka dari itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, pemerintah berupaya mengintervensi 40% populasi penduduk Indonesia yang terbagi dalam kelompok rentan miskin, hampir miskin, miskin dan sangat miskin.
Bambang memaparkan, sedikitnya enam strategi pemerintah untuk mengatasi persoalan ketimpangan ini. Pertama, soal penanganan kesehatan anak usia 5 tahun ke bawah dan pelayanan umum. Data BPS mencatat sejumlah 37% anak Indonesia masih mengalami kurang gizi (stunting).
“Sebelum kita melangkah ke masalah pendidikan, masalah stunting ini harus lebih dulu diselesaikan. Sebagian besar, anak-anak yang terkena stunting ini berasal dari keluarga miskin. Bayangkan, sudah berada dalam lingkaran kemiskinan, terkena stunting pula. Tentu kondisi inilah yang akan memperparah kemiskinan,” ungkap Bambang.
Tak hanya masalah stunting yang menjerat kelompok miskin ini, mereka juga tidak memiliki akses terhadap air bersih dan fasilitas MCK yang memadai. Padahal, salah satu kunci kesehatan berasal dari fasilitas tersebut. Maka, pemerintah terus berupaya membangun fasilitas air bersih dan MCK yang layak di beberapa wilayah.
Kedua, soal bantuan sosial yang masih belum tepat sasaran dan sering terlambat. Sejumlah warga miskin ada yang belum menerima bantuan ini karena data yang tidak sinkron. Menurut Bambang, terlambatnya bantuan sosial tersebut bisa makin memperparah ketimpangan dan bisa jadi memperlebar jurang ketimpangan antar kelompok miskin.
Ketiga, soal peluang kerja yang masih belum sepenuhnya terakses hingga ke daerah. Padahal, salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi yang baik adalah terciptanya lapangan kerja yang baru.
“Pemerintah akan fokus dengan kondisi, misal dengan industri padat karya atau jasa yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Salah satu tantangannya adalah digital economy. Memang bisa memudahkan transaksi, tapi jika tidak disikapi dengan segera bisa menggerus kesempatan kerja,” jelas Bambang.
Keempat, menurunkan penguasaan kekayaan yang selama ini hanya berpusat pada kalangan teratas. Bambang kembali menegaskan soal pentingnya pajak, sehingga tidak hanya ‘mengejar’ kelompok miskin, tapi juga harus memperhatikan yang kaya. Menurutnya, banyak kalangan teratas atau kaya yang belum menjalankan 100% kewajiban membayar pajaknya.
Kelima, soal menciptakan wirausaha secara masal seperti di Taiwan dan Korea yang mengatasi kemiskinan dengan berwirausaha. “Jadi pemerintah tidak hanya memberikan bentuan terus-menerus dalam jumlah besar. Kami juga mendorong agar para wirausaha bisa bermunculan,” kata Bambang.
Dan yang terakhir adalah soal akses pengelolaan lahan yang sebagian besar hanya dimiliki oleh korporasi maupun perorangan dari kalangan atas. Kondisi ini sedang diatasi oleh pemerintah lewat program reforma agraria. “ Jika 40% kelompok bawah ini diberi akses untuk mengelola lahan, setidaknya mereka bisa meningkatkan pendapatan dan memperbaiki taraf hidup meraka,” papar Bambang.
Di sisi lain, Country Director Conservation Srategy Found (CSF), Mubariq Ahmad berpendapat jika selama ini, penyelesaian soal ketimpangan dan indikator soal pertumbuhan ekonomi selalu bertumpu pada pendapatan per kapita. Dan malah bukan membicarakan soal aset.
“Saya ambil contoh di Kalimantan Timur, sekitar 90% pendapatan dari hutan di Kaltim itu ke luar dari Kaltim sendiri, 64% lari ke luar negeri dan 26% lari ke Jawa. Apakah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan di bawa ke Jawa atau ke luar negeri? Tentu tetap ditinggal di Kaltim,” ungkapnya saat diskusi bersama di Hotel Westin, Rabu (9/8).
Maka dari itu, Ia merekomendasikan, bahwa kebijakan pertumbuhan inklusif yang diinginkan oleh pemerintah harus jelas dulu indikatornya. Harus disertai indikator yang jelas soal apa itu inklusifitas? Selain itu, harus ada target atau sasaran yang jelas, siapa yang akan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan ini?
“Kedua, kita ingin supaya ada kebijakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tidak lagi menimbulkan displacement. Maksudnya, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, harus ada wilayah yang ditinggalkan dan wilayah yang difokuskan,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News