Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Atas kondisi tersebut, Merah meminta pemerintah pusat maupun daerah yang telah menggelontorkan izin, bisa bertanggung jawab. Pemerintah pun diminta harus bisa tegas untuk mengusut dan menindak pelanggaran korporasi yang merusak lingkungan.
Merujuk pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan daerah harus melaksanakan pengawasan terhadap sumber ancaman bencana yang lahir dari kebijakan pemerintah, pembangunan maupun eksploitasi lingkungan hidup. "Sumber (banjir) bukan hanya dari volume air, tapi sumber ancaman kebencanaan termasuk dari penguasaan ruang oleh konsesi tambang, lubang tambang yang tak dipulihkan, lahan kritis dan deforestasi," sebut Merah.
Dia pun memberikan empat catatan terkait langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah bencana ini datang kembali. Pertama, pemerintah harus melakukan moratorium izin pertambangan baru dan industri ekstraktif lainnya, termasuk sawit dan HTI.
Kedua, pemerintah harus melakukan evaluasi, audit, serta mencabut izin tambang dan industri ekstraktif di kawasan penting ekologi. Terutama di kawasan hutan yang sudah mengalami deforestasi, serta di kawasan hulu dan badan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Ketiga, melakukan pengusutan dan penegakan hukum terhadap korporasi tambang dan ekstraktif yang terlibat pelanggaran sehingga menimbulkan bencana. "Itu kan bisa di cek pakai peta risiko dan rawan bencana, perusahaan apa saja yang terkait dengan sumber ancaman bencana," kata Merah.
Keempat, melakukan revisi alokasi tata ruang. Termasuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), juga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). "Inilah yang meligitimasi kehadiran mereka, sehingga 70% dikuasai industri tambang dan ekstraktif. Ini nggak benar, harus segera direvisi semua," ujar Merah.
Baca Juga: Peringatan BMKG: Ada potensi multi risiko akibat cuaca dan gempa hingga Maret
Hal senada juga oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung, pihaknya juga mencatat bahwa banjir besar di Kalimantan disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan. Terutama untuk tambang batubara dan sawit.
"50% luas lahan sudah diambil konsesi tambang. 33% sudah diambil konsesi sawit," kata Dwi kepada Kontan.co.id, Rabu (20/1).
Dia pun khawatir perpanjangan izin tambang maupun perizinan baru yang diterbitkan pemerintah akan kian memperparah banjir pada waktu mendatang. Apalagi, belum ada langkah yang tegas dalam pembatasan produksi batubara.
Untuk itu, Walhi pun meminta ada evaluasi serta moratorium perizinan. "Evaluasi izin yang ada, hukum perusahaan yang melanggar izin, tidak memperpanjang atau memberi izin baru," ujar Dwi.
Dengan adanya Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan UU Cipta Kerja, perizinan pun beralih menjadi kewenangan pemeritah pusat. Dalam hal ini, Merah pun meminta agar kementerian maupun pemerintah untuk bersikap tegas, bukan malah terkesan mencuci tangan korporasi yang menguasai ruang dan lahan di Kalimantan.
Serupa kebijakan dalam penanganan pandemi covid-19, Merah meminta agar pemerintah menerbitkan kebijakan Pembatasan Eksploitasi Berskala Besar (PEBB). "Karena tidak akan ada ekonomi yang tumbuh di atas planet yang rusak. Pemerintah harus tegas, jika tidak, harus disuntik dengan vaksin keberanian," imbuh Merah.
Selanjutnya: Kementerian PUPR prioritaskan 3 langkah penanganan darurat bencana banjir di Kalsel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News