kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.054   70,31   1,01%
  • KOMPAS100 1.055   14,74   1,42%
  • LQ45 829   12,18   1,49%
  • ISSI 214   1,21   0,57%
  • IDX30 423   6,92   1,66%
  • IDXHIDIV20 509   7,37   1,47%
  • IDX80 120   1,71   1,44%
  • IDXV30 125   0,84   0,68%
  • IDXQ30 141   1,97   1,42%

Jalan Panjang Perjuangan Diplomasi RI Melawan UU Anti Deforestasi Uni Eropa


Kamis, 13 Juni 2024 / 20:32 WIB
Jalan Panjang Perjuangan Diplomasi RI Melawan UU Anti Deforestasi Uni Eropa


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa akan menerapkan kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada tahun 2025 untuk mengurangi deforestasi terkait produk impor, termasuk kopi dan kakau. Bagi Indonesia, yang merupakan salah satu negara eksportir utama kopi ke Eropa, kebijakan ini menuntut adaptasi segera. Jika tidak dampaknya pada akhirnya bisa merugikan petani kopi di Nusantara.

Untuk itu, Indonesia terus berusaha melakukan lobi atau pendekatan terhadap buyer serta pemerintah di Uni Eropa bisa memahami tentang praktik budidaya kopi di Indonesia yang agak berbeda, ada unsur kearifan lokal yang malah turut menjaga keletarian hutan.

Ketua PMO Kopi Nusantara Dwi Sutoro menjelaskan, secara kultur teknis budidaya, kopi Indonesia memang berbeda dengan kopi dari negara lain. Kopi Indonesia ditanam di bawah naungan, sedangkan di negara lain kopi dibudidayakan secara massal tanpa naungan. Hal ini yang menjadi challenge kita dalam implementasi kebijakan EUDR ini. "Tutupan kanopi pohon pelindung bisa saja diklaim sebagai kawasan hutan oleh Uni Eropa," sebutnya kepada KONTAN, Kamis (13/6).

Saat ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sudah mengkoordinasikan berbagai pihak untuk membangun sebuah sistem nasional dalam rangka memverifikasi bahwa kawasan budidaya kopi dan komoditas strategis lain yang terdampak, penanamannya di suatu daerah dapat dibuktikan secara sah dan legal serta aktual jika tidak berada dalam Kawasan hutan versi Pemerintah Indonesia, dan juga memiliki sistem yang tertelusur dari hulu hingga rantai pasok ke hilir.

Sehingga, upaya diplomasi dalam menyamakan pemahaman regulasi, serta meningkatkan keberterimaan upaya Pemerintah Indonesia selama ini untuk menjawab hal tersebut menjadi fokus utama kita semua. "Kami yakin untuk komoditas kopi di Indonesia secara aktual dan legal tidak berasal dari hasil deforestrasi," tanda Dwi yang juga Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero).

Sebaliknya, salah satu praktik budidaya kopi di Indonesia dilakukan berdampingan dengan hutan sebagai kanopi penaung tanaman kopi, dengan juga mempertimbangkan upaya konservasi dan proteksi fungsi utama hutan." Artinya, tidak ada pohon yang ditebang untuk membuka lahan kopi, malah kopi bisa menjadi tanaman sela hutan yang sangat menjanjinkan untuk pembangunan ekonomi komunitas masyarakat sekitar kawasan hutan," tandasnya.

Dwi mengungkapkan, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) beserta stakeholder kopi dalam ekosistem PMO Kopi Nusantara mengusulkan skema evidence-based evaluation kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk selanjutnya dikomunikasikan dengan Peemrintah Uni Eropa.

Evidence-based evaluation ini adalah skema penilaian deforestrasi/non-deforestrasi bukan hanya dilihat dari overlay peta polygon kebun kopi dibandingkan dengan peta hutan (baik milik Pemerintah Uni Eropa maupun Pemerintah Indonesia), namun juga perlu dilakukan audit di lapangan yang bisa memeprlihatkan jika budidaya kopi Indonesia itu sustainable. Ini juga sebagai upaya diplomasi kopi yang positif pada tingkat global.

"Intinya, saya yakin kalau kopi Indonesia itu bukan hasil dari deforestrasi. Sudah mulai banyak pembeli kopi kita dari Uni Eropa juga berkomunikasi dengan kita untuk melakukan due diligence (yang sebenarnya poin due diligence ini masih belum firm dari Uni Eropa), sembari kita juga menunggu hasil diplomasi Pemerintah Indonesia dalam relaksasi penerapan regulasi ini," tandas Dwi

Untuk diketahui, pengaturan Uni Eropa (UE) mengenai produk bebas deforestrasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), yang pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019, merupakan komitmen untuk menilai langkah regulasi dan non-regulasi sisi permintaan tambahan dan memastikan tingkat playing field dan pemahaman bersama tentang rantai pasokan bebas deforestasi, meningkatkan transparansi rantai pasokan, dan meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan impor komoditas ke UE.

Komitmen ini juga telah dikofimasi dengan kebijakan European Green Deal serta EU Biodiversity Strategy and the Farm to Fork Strategy, dan kemudian EUDR ditetapkan oleh UE pada 29 Juni 2023.

Juru Bicara Kemenko Perekonomian Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menjelaskan, pada perkembangannya, regulasi tersebut telah menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertentangan dari berbagai kalangan dan negara karena proses pembahasannya yang dinilai tidak melibatkan negara-negara penghasil dari komoditas yang diatur dalam ketetapan EUDR tersebut yakni kayu (timber), sawit, kopi, kakao, soya bean, karet, dan cattle.

"Selain itu, EUDR juga tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat seperti ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi," ujar dia dalam keterangannya dikutip dari laman www.ekon.go.id.

Setelah surat pertama yang ditandangani oleh 14 negara pada tanggal 27 Juli 2022, keberatan terhadap pemberlakuan EUDR kembali disuarakan oleh like-minded countries dalam surat yang ditandatangani oleh Dubes atau Perwakilan dari 17 negara pada tanggal 7 September 2023. Like-minded countries berpandangan bahwa upaya penanganan isu deforestrasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim ada dalam kesepakatan multilateral yaitu principle of common but differentiated responsibilities, melakukan diskriminasi dan menghukum terhadap 7 komoditas dalam EUDR, serta berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO).

Indonesia bersama Malaysia juga menjadi negara yang turut menyuarakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut. Dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia, yang merangkap sebagai Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof, telah melakukan misi bersama (joint mission) ke Brussels pada bulan Mei 2023 lalu untuk bertemu dengan sejumlah tokoh penting di Komisi Eropa dan Anggota Parlemen Uni Eropa yang menangani ketentuan EUDR. Dalam kunjungan tersebut disampaikan mengenai keberatan dan potensi implikasi dari ketentuan EUDR tersebut apabila diterapkan.

Sebagai tindak lanjut dari kunjungan ke UE tersebut, pihak UE sepakat untuk membentuk suatu mekanisme dialog yang diusulkan pihak Indonesia dan Malaysia dalam suatu wadah yang disebut Joint Task Force (JTF) untuk membahas berbagai concern dan kehawatiran negara produsen terkait dengan rencana pelaksanaan EUDR yang akan mulai berlaku pada Januari 2025. Kick off meeting dari JTF tersebut telah dilakukan pada 4 Agustus 2023 dan pertemuan kedua telah dilakukan pada 2 Februari 2024.

Dalam JTF tersebut terdapat lima fokus pembahasan mulai dari masuknya petani kecil dalam mata rantai pasokan komoditas, gap analysis antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO), alat ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen (traceability tools), country benchmarking yang hingga kini belum tersedia metodologinya dan sumber data yg digunakan, hingga perlindungan data pribadi.

Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia juga tengah melakukan upaya lain dengan menyusun platform digital yang berupa National Dashboard untuk memperkuat rantai pasok pekebun rakyat dan industri komoditas-komoditas yang terdampak oleh kebijakan EUDR.

Selain itu, sebanyak 27 Senator Amerika Serikat telah bersurat kepada Perwakilan Dagang Amerika Serikat Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper Amerika Serikat. Surat tersebut menyoroti persyaratan yang ketat dari EUDR, terutama mengenai traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi oleh industri pulp and paper di Amerika Serikat.

Para Senator tersebut meminta Katherine Tai untuk terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di UE dan mendorong UE untuk mengakui bahwa Amerika Serikat memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di Amerika Serikat. Respons Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangatlah merugikan terutama bagi para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif.

Dari pihak UE sendiri, keberatan juga telah disampaikan oleh Asosiasi Utama Petani di Uni Eropa, Copa Cogeca, yang mengatakan ketidakmungkinan untuk dapat melaksanakan ketentuan dalam EUDR pada waktunya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×