kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,65   -11,86   -1.27%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investor China takut isu SARA di Indonesia


Rabu, 25 Januari 2017 / 10:47 WIB
Investor China takut isu SARA di Indonesia


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) yakin pertumbuhan investasi akan mulai membaik di kuartal II tahun ini. Hal itu sejalan dengan membaiknya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di akhir kuartal kedua 2017.

Hanya saja, harapan tersebut bisa kandas jika isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA), dan memanasnya suhu politik terus terjadi di Indonesia.

Chairman Indonesia Chamber of Commerce in China (INACHAM) Liky Sutikno mengatakan, investor China cukup memerhatikan apa yang terjadi di Indonesia, termasuk soal isu politik yang terjadi. "Banyak teman-teman yang sampai sekarang belum berani. Mereka harusnya due diligence tapi diundur," katanya dalam diskusi terkait perekonomian Indonesia di Graha CIMB Niaga, Senin (23/1).

Namun, menurutnya, investor asal China terutama badan usaha milik negara (BUMN) sampai saat ini belum terpengaruh isu SARA dalam berinvestasi di Indonesia. Oleh karena itu, dia bilang, realisasi investasi China ke Indonesia dalam kurun waktu 2015-2016 bisa meningkat tiga kali lipat.

Hanya saja jika iklim investasi di Indonesia tidak kunjung kondusif, investasi China yang disokong pemerintahnya juga akhirnya mencari negara lain.

Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan Kepala Staf Wakil Presiden Sofjan Wanandi. Menurutnya iklim investasi di dalam negeri bisa terganggu adanya isu-isu SARA dan radikalisme. Isu-isu ini juga yang menjadi penghalang realisasi amnesti pajak secara maksimal. "Pengusaha memperbincangkan, apa yang terjadi? Jadi ada kekhawatiran itu," katanya. Dari komitmen repatriasi sebesar Rp 141 triliun, realisasi sampai 31 Desember 2016 hanya sebesar Rp 112,2 triliun.

Kondisi politik yang memanas juga membuat pengusaha yang telah membawa uangnya masuk ke dalam negeri, masih menahan uangnya di perbankan dan belum menempatkannya di instrumen investasi, terutama sektor riil. Hal tersebut mempengaruhi jalannya investasi di dalam negeri.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri bilang, permasalahan struktural yang membuat isu SARA dan radikalisme terjadi adalah ketimpangan sosial. Untuk mengatasi persoalan SARA, pemerintah perlu memperbaiki tingkat ketimpangan, yaitu melalui perbaikan sektor pertanian dan manufaktur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×