kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.543.000   4.000   0,26%
  • USD/IDR 15.755   0,00   0,00%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Inti membantah RFID terhenti


Selasa, 25 Maret 2014 / 23:48 WIB
Inti membantah RFID terhenti
ILUSTRASI. Salah seorang petani microgreen sedang menunjukkan hasil panenannya.


Reporter: Ranimay Syarah | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Setelah tahun lalu banyak orang sempat mengantre panjang untuk memasang kendaraannya dengan Radio Frequency Identification (RFID) untuk bisa tetap menikmati bahan bakar bersubsidi, tiba-tiba saja program ini seperti hilang ditelan hiruk pikuk ibukota. Proyek pemasangan alat monitoring pengendalian bahan bakar minyak (BBM) subsidi Radio Frequency Identification (RFID) pun bahkan terancam gagal. Menteri BUMN Dahlan Iskan bahkan sempat mengatakan proyek RFId ini mesti dihentikan karena belum ada persetujuan Pertamina dengan partnernya.

Tapi Tikno Sutisna Direktur Utama PT INTI membantah proyek RFId harus berhenti. Ia bahkan menegaskan saat ini proses penyesuaian nilai kontrak dengan Pertamina masih berjalan. Menurut Tikno PT INTI sudah minta pendapat pengacara negara dan hasilnya akan diteruskan ke BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk selanjutnya diproses.

"Siang ini baru saja pengacara negara memberi pendapat dan setelah itu akan diteruskan ke BPKP tentang kewajaran nilai, boleh atau tidak targetnya diperpanjang, tapi proyek ini tidak berhenti, dan kita optimistis jalan terus, " kata Tikno kepada Kontan, Selasa (25/03).

Tikno merasa semua pihak menyalahkan PT INTI, padahal yang melaksanakan proyek ini dari awal adalah Pertamina. BPH Migas menugaskan Pertamina untuk menjalankan UU No.6/2013 tentang pengendalian BBM bersubsidi di mana perusahaan yang memiliki pasar BBM harus melakukan pengendalian dengan menggunakan teknologi IT secara tertutup. "Yang punya kontrak kerja untuk RFId ini kan INTI dan Pertamina, INTI tidak punya kontrak baik dengan Kementerian ESDM dan BUMN, mestinya yang harus dipertanyakan ya Pertamina, bukan PT INTI terus," kata Tikno.

Tikno mengeluhkan banyaknya pihak menganggap PT INTI tidak becus dan membuat masyarakat bingung. Ia berkomentar program ini adalah untuk kepentingan bersama bukan untuk kepentingan bisnis, partai politik, atau kepentingan perusahaan. "Kita kan bukan malaikat, yang mau orang bahagia dan perusahaan kita rugi. Lagipula INTI ambil untung sewajarnya saja bukan luar biasa," katanya.

Penyesuaian yang diminta PT INTI adalah nilai kontrak yang awalnya Rp 18/ liter dinaikkan menjadi Rp 21/ liter. Hingga saat ini pengajuan kenaikan kontrak belum bisa diputuskan Pertamina. Selain itu, alat-alat yang dibuat memerlukan standar yang baik untuk bisa dikontrol dengan teknologi sehingga memerlukan waktu. " INTI kan punya bisnis di bidang alat telekomunikasi kan itu ada standarnya, dan pompa-pompa Pertamina itu belum ada standarnya, padahal kalau alat yang mau dikendalikan dengan software harus ada standarnya. Dan itu butuh waktu," katanya.

Sementara itu, Andy Noorsaman Sommeng, Ketua BPH Migas hanya berkomentar singkat soal kelanjutan proyek ini. Ia bilang bagaimana pun, ini adalah kewajiban Pertamina sebab dari awal Pertamina sudah berkomitmen. "Ya kalau proyek ini gagal, Pertamina yang malu," kata Andy, Selasa (25/03).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×