Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi memperluas pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) ke sektor pariwisata melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025.
Insentif ini ditujukan kepada pegawai hotel, restoran, kafe, biro perjalanan wisata, hingga penyelenggara acara dan taman rekreasi.
Dalam beleid tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, perluasan fasilitas fiskal ini merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi 2025 untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dan memperluas penciptaan lapangan kerja.
"Bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat, diperlukan dukungan pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi 2025 untuk program akselerasi 2025, antara lain berupa perluasan pemberian fasilitas fiskal PPh 21 DTP untuk sektor pariwisata," bunyi pertimbangan beleid tersebut, dikutip Rabu (29/10).
Baca Juga: Soal Sumber Air, BPKN Pastikan Aqua Tidak Melanggar Hak Konsumen
Berdasarkan PMK 72/2025, pegawai yang bekerja di industri pariwisata berhak atas insentif PPh 21 DTP untuk masa pajak Oktober hingga Desember 2025.
Dengan kebijakan ini, pajak penghasilan yang seharusnya dipotong dari gaji mereka akan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah selama tiga bulan terakhir tahun ini.
Sementara itu, untuk sektor manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit, fasilitas PPh 21 DTP tetap diberikan sejak Januari hingga Desember 2025.
Kementerian Keuangan menetapkan bahwa pemberi kerja yang bergerak di sektor pariwisata, termasuk hotel, restoran, kafe, agen perjalanan wisata, penyelenggara MICE, hingga pengelola taman rekreasi berhak memanfaatkan insentif ini.
Ketentuannya mengacu pada klasifikasi lapangan usaha (KLU) utama sebagaimana tercatat dalam basis data administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
PPh 21 DTP dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja kepada pegawai dan tidak dianggap sebagai penghasilan kena pajak.
Perusahaan penerima insentif wajib membuat bukti pemotongan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21/26.
Dalam hal terjadi kelebihan pemotongan, bagian pajak yang tidak ditanggung pemerintah dapat dikembalikan atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya dengan melampirkan kertas kerja penghitungan dan bukti pemotongan tambahan melalui sistem DJP.
Myrdal Gunarto, Global Market Economist Maybank Indonesia menilai kebijakan tersebut dirancang untuk mengompensasi dampak dari kebijakan efisiensi anggaran pada awal tahun 2025.
Menurutnya, efisiensi anggaran tersebut berimbas pada sektor yang biasanya memperoleh manfaat dari aktivitas perjalanan dinas dan kegiatan rapat, seperti hotel dan restoran.
"Kalau saya lihat sih wajar saja sektor ini pada awal tahun mendapatkan dampak negatif dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah dan kemudian ya, pemerintah kelihatannya supaya sektor ini tetap tumbuh kondusif ya mereka melakukan kebijakan terkait dengan insentif PPh 21," ujar Myrdal kepada Kontan.co.id, Rabu (29/10).
Ia menilai kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menjaga kinerja sektor Horeka (hotel, restoran, dan kafe). Namun, ia juga mengingatkan agar perlu kehati-hatian jika nantinya insentif serupa akan diperluas ke sektor lain.
Baca Juga: Disaksikan Prabowo, Polri Musnahkan 2,1 ton Narkoba Hari Ini, Rabu (29/10)
Menurutnya, perluasan insentif PPh 21 DTP ke sektor lain bisa berdampak hilangnya penerimaan negara dari sisi pajak.
"Kalau untuk ke sektor yang lain ya harus dilihat juga ini dampaknya ya ke (penerimaan) PPh. Jangan sampai kalau misalnya diterapkan ke sektor lain takutnya PPh-nya malah berkurang," katanya.
Lebih lanjut, ia menilai masa pemberian insentif selama tiga bulan sudah cukup tepat, dengan ruang untuk evaluasi setelahnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan bahwa insentif tersebut belum tentu akan mendorong perekonomian, mengingat masa berlakunya hanya tiga bulan saja.
Menurutnya, insentif tersebut tidak banyak yang akan memanfaatkannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan pekerja di sektor pariwisata berada di sektor informal sehingga kerap tidak membayar pajak.
"Mereka yang formal pun berada di bawah threshold pendapatan kena PPh 21. Jadi, dampaknya ada, tetapi sangat minim," kata Wija.
Senada, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menambahkan bahwa insentif tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian.
Menurutnya, kebijakan ini hanya lebih bersifat simbolik ketimbang substantif.
"Program PPh 21 DTP untuk sektor pariwisata ini saya rasa cuman pemanis kebijakan di akhir tahun yang digunakan untuk memperbaiki citra pemerintah," katanya.
Ia menjelaskan, rata-rata pendapatan pekerja di sektor penyediaan akomodasi, makanan, dan minuman hanya sekitar Rp2,5 juta per bulan.
Angka ini jauh di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang saat ini sebesar Rp4,5 juta per bulan.
Menurut Huda, kebijakan tersebut justru lebih menguntungkan kalangan menengah seperti manajer hotel atau staf administrasi dengan gaji lebih tinggi.
"Tidak menyasar kepada kelompok kerja bawah, tapi memang untuk kelas menengah yang bekerja di sektor ini terbantu seperti manajer hotel dan sebagainya," katanya.
Di sisi lain, Huda menilai dampaknya terhadap daya beli maupun konsumsi di sektor pariwisata juga minim.
"Saya rasa tidak akan efektif mendorong ekonomi, dari sisi konsumsi sektor pariwisata. Apakah dengan PPh 21 DTP ini akan menurunkan harga layanan di sektor pariwisata? Saya rasa juga tidak berpengaruh apapun," pungkas Huda.
Baca Juga: Polri Sita 214,84 Ton Narkoba, Prabowo: Selamatkan 629 Juta Jiwa
Selanjutnya: Wisma Atlet Blok C-2 Diresmikan Menjadi Rusun ASN, TNI, Polri
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Hyper Sale sampai 3 November 2025, Tepung-Detergent Diskon hingga 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













