kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.875   5,00   0,03%
  • IDX 7.314   118,54   1,65%
  • KOMPAS100 1.121   16,95   1,53%
  • LQ45 892   14,50   1,65%
  • ISSI 223   2,40   1,09%
  • IDX30 459   10,01   2,23%
  • IDXHIDIV20 553   13,38   2,48%
  • IDX80 129   1,38   1,09%
  • IDXV30 137   2,73   2,03%
  • IDXQ30 152   3,22   2,16%

Ini sejumlah tantangan perdagangan internasional yang dihadapi Indonesia saat ini


Sabtu, 07 November 2020 / 10:00 WIB
Ini sejumlah tantangan perdagangan internasional yang dihadapi Indonesia saat ini


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai tantangan perdagangan internasional dihadapi Indonesia saat ini. Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo menerangkan, salah satu tantangan yang dihadapi adalah masing-masing negara memiliki kepentingan nasional masing-masing. Ini berarti tidak ada teman yang abadi.

"Jadi kalau bicara ekonomi, investasi kita harus tahu hukum dasarnya, bahwa tidak ada teman, yang abadi adalah kepentingan nasional, dimana pun negara itu pada akhirnya mendasari kebijakannya pada national interestnya masing-masing," jelas Iman.

Iman pun menyebut salah satu tantangan yang dihadapi adalah mengembalikan kepercayaan terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sistem perdagangan multilateral yang membutuhkan waktu. Hal ini dikarenakan berbagai negara lebih menekankan pada pendekatan kesepakatan bilateral dan regional.

Baca Juga: Faisal Basri: Indonesia lebih diuntungkan jika Trump terpilih kembali

Berikutnya, persaingan antara negara akan semakin tajam, dimana satu negara akan bersaing dengan negara lain meski masing-masing negara tersebut terikat perjanjian perdagangan satu sama lain.

Iman mengatakan, rantai pasok dunia tetap menjadi pilihan, mengingat salah satu negara tidak bisa memproduksi selruh barang atau jasa sendiri di dalam negeri.

"Tetapi kita juga harus berhati-hati ada kondisi yang terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja yang mungkin akan menempatkan satu negara itu tetap berada di bawah. Kita sebagai penyuplai bahan baku tapi tidak dapatkan value addednya ini kita harus waspada," ujar Iman.

Menurutnya, Indonesia harus bisa keluar dari jebakan supply chain tersebut, sehingga Indonesia harus meningkatkan koordinasi antara perdagangan dan diplomasi, baik untuk urusan ekonomi maupun non ekonomi.

Iman menambahkan, tantangan berikutnya adalah kebijakan-kebijakan yang bermasalah. Menurutnya, Indonesia harus berhati-hati untuk menetapkan kebijakan perdagangan atau ekonomi yang mungkin direspons dengan hukuman oleh negara lain atau dibawa ke dispute settlement baik dalam konteks WTO atau perjanjian lainnya.

Selanjutnya, Iman pun menyebut saat ini tengah terjadi global division of labor. Menurutinya, satu negara tidak bisa berupaya mandiri dan unggul di seluruh bidang.

"Mereka tidak bisa unggul dalam tiap bidang, dan tidak bisa memproduksi sendiri semuanya jadi pada akhirnya akan terjadi global division of labor," kata Iman.

Tak hanya itu, kemajuan atau perkembangan industri 4.0 saat ini pun akan lebih membutuhkan pekerja profesional atau pekerja kantoran (white collar worker) dibandingkan pekerja kerah biru (blue collar worker).

"Kita juga harus aware bahwa mendorong industri kita ke arah industri 4.0, maka konsekuensinya adalah kita harus memikirkan lapangan kerja bagi mereka yang mengandalkan kegiatan secara fisik atau manual (pekerja kerah biru)," kata Iman.

Baca Juga: Pemenang pemilu AS tidak berdampak signifikan pada Indonesia karena alasan ini

Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, Iman menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia perlu meningkatkan akses pasar ke pasar tradisional sambil mengeksplor pasar non tradisional.

Kedua, mendorong akselerasi transformasi dari ekspor komoditas ke produk atau barand dan jasa yang memberikan nilai tambah.

Ketiga, Indonesia pun harus memiliki target yang jelas dalam menarik ekspor dan investasi, khususnya dalam konteks perundingan. Menurutnya, hal ini untuk menghemat energi dan waktu, dan sebaiknya fokus pada target-target yang besar.

"Jadi idealnya kita harus fokus pada big fish, tetapi bukan berarti kita hanya akan negosiasi dengan negara yang secara ekonomi memang signifikan," katanya.

Berikutnya, memanfaatkan utilisasi perjanjian perdagangan yang sudah ada dan yang akan diterapkan, meminimalkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan disiplin perjanjian WTO atau perjanjian dagang lainnya baik bilateral dan regional.

Lalu, memprioritaskan ekspor produk barang atau jasa yang kompetitif, sekaligus mengamati dan menganalisis produk yang mengalami penurunan daya saing di pasar.

"Kita harus melihat siapa yang mengambil pangsa pasar kita, kenapa dia bisa ambil, kelebihannya apa saja, berapa harganya, kita bandingkan dengan produk kita di pasar yang sama, dan kita harus bisa melakukan perbaikan dari itu," kata Iman.

Iman mengatakan, saat ini perdagangan internasional pun telah mengalami kenormalan baru jauh sebelum Covid-19 terjadi. Menurutnya, berbagai kenormalan baru di perdagangan internasional bisa terjadi karena gangguan yang konstan dari industri 4.0, cloud computing, artificial intelligents, banyak negara yang sudah kehilangan kepercayaan pada WTO dan sistem perdagangan multilateral, meningkatkan kesepakatan bilateral dan regional dan lain sebagainya.

Kata Iman, kenormalan baru ini akan terus berubah melihat segala perkembangan yang ada, tetapi Indonesia harus tetap bertahan dalam setiap keadaan.

Selanjutnya: Kemenangan Biden tak akan pengaruhi upaya Indonesia genjot ekspor ke AS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×