Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melihat, masih adanya ketimpangan pembiayaan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bisa menyebabkan defisit.
Menurut Anggota DJSN Ahmad Ansyori, kesenjangan program JKN ini bisa disebabkan oleh peserta yang tidak aktif atau mereka yang menunggak iuran. Selain itu, ada juga datang dari peserta yang mendaftar hanya saat sakit dan kemudian tidak melanjutkan iuran ketika sehat.
Alasan lain datang juga dari besaran iuran yang dianggap terlalu rendah dibandingkan dengan manfaat yang diterima oleh para peserta.
Baca Juga: BPJS Kesehatan masih menanti perpres untuk bisa naikkan iuran JKN
Ansyori pun menambahkan, sebenarnya pemerintah memiliki aturan yang mengatur administratif, yaitu pada PP no. 86 tahun 2013. Ada juga sanksi yang diatur di dalamnya, tetapi tidak diterapkan.
"Kalau sanksi itu efektif diterapkan, barangkali masyarakat bisa terbiasa untuk tertib. Instrumennya kita sudah ada, tetapi masih ragu-ragu untuk menerapkannya," kata Ansyori pada Rabu (23/10) di Yogyakarta.
Salah satu sanksi yang disarankan untuk diterapkan dalam rangka penertiban pembayaran iuran adalah sanksi untuk tidak mendapat layanan publik bagi mereka yang menunggak.
Dalam hal ini, tentu saja akan dilibatkan kementerian dan lembaga (K/L) yang memberikan layanan publik. Menurutnya, BPJS bisa menginformasikan kepada 6 K/L yang memberi layanan publik dan menginformasikan data-data mereka yang menunggak iuran.
Baca Juga: Waduh, ICW temukan 49 potensi penipuan di BPJS Kesehatan
"Misalnya yang menunggak iuran ingin membuat paspor atau memperbarui KTP. Dia baru bisa mendapatkan pelayanan itu kalau sudah menyelesaikan kewajibannya untuk membayar iuran," tambah Ansyori.
Ansyori rasa ini merupakan hal yang efektif, karena sebelumnya ini sudah diterapkan di beberapa negara dan salah satunya adalah Korea Selatan. Saat ini, kepesertaan jaminan kesehatan yang tertib di Korea Selatan mencapai 99,98%. Sisanya adalah yang tidak tertib, yaitu sebanyak 0,02%.
Menurutnya, mereka yang tidak tertib untuk membayar jaminan kesehatan di Korea Selatan memang sedikit karena sanksi yang ditetapkan ekstrem, bahkan hingga pembekuan aset sehingga aset tidak bisa dijualbelikan.
Baca Juga: Punya 7 juta pengguna aktif, Halodoc jalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan
Oleh karena itu, Ansyori mengimbau Indonesia untuk lebih tegas dalam menerapkan hal ini. Hanya saja, Ansyori mengungkapkan bahwa pemberlakuan sanksi sepertinya masih belum bisa diterapkan berbarengan dengan kenaikan iuran BPJS pada 2020 mendatang.
Sebagai tambahan informasi, menurut data dari DJSN, total pemanfaatan layanan kesehatan melalui JKN mencapai 277,9 juta layanan per Agustus 2019. Bahkan, data per 30 September 2019 menunjukkan bahwa jumlah peserta JKN mencapai 221,2 juta jiwa atau 84% dari jumlah penduduk Indonesia.
Pemerintah pun telah melakukan pembiayaan sekitar 134 juta jiwa penduduk miskin melalui segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau sebanyak 60% dari seluruh peserta JKN BPJS Kesehatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News