Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - YOGYAKARTA. Bank Indonesia (BI) dan Direktoral Jenderal Bea dan Cukai Kemeterian Keuangan bahu membahu berupaya membawa devisa hasil ekspor (DHE) kembali ke Indonesia. BI dan pemerintah bahkan sampai mengenakan sanksi bagi eksportir yang tidak membawa pulang DHE tersebut ke Indonesia.
Meski sempat direlaksasi karena pandemi Covid-19, BI mengumumkan, sanksi bagi eksportir yang tidak memarkir DHE sumber daya alam (SDA) maupun non SDA di perbankan dalam negeri, kembarli berlaku pada tahun 2022. Harapannya, bisa merangsang aksi eksportir memarkir DHE di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat kondisi di lapangan masih banyak eksportir yang enggan membawa pulang DHE ke dalam negeri karena beberapa alasan.
Baca Juga: Ini yang Harus Dilakukan Bank Indonesia Saat Rupiah Terus Melemah
Pertama, perbankan dinilai tidak siap untuk menerima DHE, termasuk dalam hal suku bunga deposito valas dianggap terlalu kecil.
“Suku bunga deposito valas kita dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan negara lain. Di Singapura misalnya, suku bunga deposito valas bisa mencapai 3% bahkan di atas 4%. Jadi ini mengapa eksportir suka menaruh uang di luar negeri,” terang Bhima dalam Workshop Jurnalisme Ekonomi CELIOS Jelang KTT G20, Sabtu (29/10) di Yogyakarta.
Kedua, para eksportir tetap membutuhkan dolar Amerika Serikat (AS) untuk membayar kapal logistik. Sedangkan bila DHE kemudian dikonversi ke rupiah, akan terjadi ketidakcocokan (missmatch) yang banyak.
Bhima cukup menyayangkan hal ini. Pasalnya, selama ini kita mendapatkan keuntungan dari keanikan harga komoditas, berupa surplus neraca perdagangan yang jumbo. Secara kumulatif, surplus neraca perdagangan barang periode Januari 2022 hingga September 2022 tercatat US$ 39,87 miliar.
Sayangnya, surplus jumbo tersebut tidak diimbangi dengan masuknya DHE secara masif ke dalam negeri, sehingga tidak terlalu kokoh dalam menyokong otot rupiah.
Baca Juga: Ekonomi Global Tak Pasti, Ini Saran Ekonom untuk BI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News