Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kekhawatiran pemerintah bahwa inflasi tahun ini akan melebihi tahun lalu sepertinya akan terjadi. Dari hasil survei pemantauan harga (SPH) mingguan pada pekan ketiga yang dilakukan Bank Indonesia (BI), laju inflasi Januari tahun ini diperkirakan 0,67%, atau lebih tinggi dibanding inflasi Januari 2016 yang sebesar 0,51%.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, dengan perkembangan inflasi bulanan tersebut, inflasi tahunan bulan ini diperkirakan sebesar 3,19% year on year (YoY). Angka ini lebih tinggi dibanding Desember 2016 yang 3,02% YoY.
Menurut Agus, sumber inflasi berasal dari kenaikan harga yang diatur pemerintah (administered prices). Di antaranya dari kenaikan tarif listrik dan kenaikan biaya administrasi surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Tak hanya itu, harga pangan yang bergejolak (volatile food) juga turut menyumbang inflasi, di antaranya dari kenaikan harga cabai merah. "Kalau 3,19% (YoY) itu oke. Tetapi kami mesti antisipasi kalau inflasi naik, prioritas utama adalah koordinasi untuk menjaga inflasi supaya bisa terjaga rendah," tambahnya.
Fokus pengendalian
Agus mengatakan, administered prices sepanjang tahun lalu mencatat laju inflasi yang rendah yakni 0,21%. Sementara volatile food mencatat laju inflasi yang cukup tinggi, yakni sebesar 5,92%. "Tahun 2017 mungkin administered prices akan tertekan, maka volatile food perlu dikendalikan," katanya.
Menurut Agus, ada tiga hal yang akan menjadi fokus koordinasi antara BI dengan pemerintah terkait pengendalian inflasi tahun ini. Pertama, ketersediaan pasokan. Sebab jika pasokan tidak ada, hal itu akan membuat harga naik, sekalipun dilakukan operasi pasar oleh pemerintah.
Kedua, distribusi pasokan yang lancar. Soalnya, jika distribusi terhambat turut menyebabkan adanya wilayah-wilayah yang tidak mendapat pasokan sehingga menekan harga di wilayah itu.
Ketiga, antisipasi musim hujan panjang hingga virus tanaman. "Kalau ada kekurangan pasokan, kami tentu tidak ingin impor. Tetapi kita tidak boleh terlambat kalau ada kegagalan atau hama mesti impor," kata Agus.
Menurutnya, jika inflasi tahun ini tidak terjaga, kondisi ini akan membuat stabilitas ekonomi domestik ikut tidak terjaga. Padahal, selama dua tahun berturut-turut, Indonesia berhasil menjaga stabilitasnya melalui inflasi yang rendah di tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 3,35% YoY dan 3,02% YoY. "Bahkan di 2016, ketika suku bunga The Fed naik, kondisinya jauh lebih baik dibanding 2013 ketika tappering," tambah dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, risiko inflasi naik sebagai efek dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya penyesuaian subsidi listrik. “Ini akan menimbulkan tekanan terhadap daya beli masyarakat,” katanya.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, potensi peningkatan inflasi tersebut, selain dari pemangkasan subsidi listrik, juga akan berasal dari kenaikan biaya pengurusan surat kendaraan bermotor, kenaikan tarif elpiji tiga kilogram (kg), serta reformasi subsidi lainnya.
Dari kenaikan tarif listrik sebagai konsekuensi pencabutan subsidi listrik berdaya 900 volt ampere (VA) dan 450 VA yang terbagi menjadi tiga kali kenaikan di sepanjang tahun ini, menurut Juda, akan menyumbang inflasi 0,9%. "Maka 2017, perkiraan kami inflasi baseline bisa di dekat di atas 4%," kata Juda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News