Reporter: Abdul Basith | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT, Tri Handoko Seto mengatakan, antisipasi kebakaran hutan di Indonesia masih minim. Padahal, potensi kebakaran hutan di Indonesia tinggi termasuk pada lahan gambut.
Oleh karena itu, ia mengatakan Indonesia membutuhkan peralatan antisipasi kebakaran yang lebih baik. "Daya antisipasi bangsa ini umumnya masih rendah," ujar saat konferensi pers, Selasa (30/7).
Baca Juga: Kepala BNPB ingatkan tsunami besar di masa lalu dapat terulang
Bila dibandingkan dengan Thailand, Seto bilang Indonesia masih jauh tertinggal. Thailand saat ini memiliki 15 posko penanganan kebakaran.
Sementara Indonesia hanya memiliki satu posko kebakaran di Riau. Ketinggalan Indonesia juga diungkapkan dari sisi kepemilikan pesawat untuk operasional modifikasi hujan.
Seto bilang Thailand memiliki lebih dari 20 pesawat untuk operasional modifikasi cuaca. Sementara Indonesia saat ini hanya memiliki 2 pesawat yang dibeli tahun 1992 dan 2000-an lalu. "Kita mengajukan terus (pengadaan pesawat) belum pernah disetujui," terang Seto.
Sisi administratif pun dinilai membuat perkembangan pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca Di Indonesia tidak optimal. Badan operasional teknologi modifikasi cuaca di Thailand langsung di bawah raja.
Baca Juga: Antisipasi kekeringan, BPPT akan modifikasi cuaca di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara
Sementara di Indonesia BPPT tidak memiliki fungsi anggaran dalam melakukan modifikasi cuaca. Anggaran untuk melakukan modifikasi cuaca berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Modifikasi cuaca sebelumnya diajukan oleh pemerintah daerah kepada BNPB. Selanjutnya BNPB meminta kepada BPPT melakukan modifikasi cuaca.
Asal tahu saja sebelumnya BPPT melakukan modifikasi cuaca di Riau sebanyak 91 penerbangan sejak Februari lalu untuk mengantisipasi kebakaran hutan. Hal itu memakan biaya sebesar Rp 8 miliar.
Selain itu, Seto juga mengungkapkan agar teknologi dimanfaatkan dengan baik. Saat ini modifikasi cuaca dilakukan setelah kemarau terjadi.
"Padahal efisiensi rendah, bagusnya (modifikasi cuaca) dilakukan saat transisi," jelas Seto.
Baca Juga: Sebanyak 5.929 personel gabungan dikerahkan untuk memadamkan kebakaran hutan
Penggunaan teknogi pada masa transisi pun sulit dilakukan. Pasalnya melakukan hujan buatan di saat kondisi masih ada hujan akan membuat banyak pertentangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News