Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Indonesia perlu melakukan diversifikasi dalam penggunaan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Hal ini perlu sebagai tindak lanjut dalam menghadapai gejolak dan tekanan dari AS yang tidak perlu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofjan Djalil, mengatakan, Indonesia sudah mempunyai perjanjian standby dengan China tentang penggunaan mata uang lokal. Cuma, perjanjian ini belum bisa diimplementasikan dalam jangka pendek lantaran biayanya mahal. "Namun, ke depan kita akan menuju ke sana," ujar Sofyan, Senin (20/4).
Seperti diketahui, sejak 2009 lalu, Bank Indonesia (BI) sudah meneken perjanjian Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan The People’s Bank of China. Dalam kesepakatan tersebut, kedua negara menyepakati penggunaan mata uang rupiah dan renminbi dalam transaksi ekspor-impor antar perusahaan Indonesia dengan perusahaan China. Menurut Sofyan, jika perjanjian bisa diterapkan, ketergantungan Indonesia terhadap dollar AS akan berkurang.
Direktur Eksekutif Lippo Group Indonesia John Riady, mengatakan China adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia. Nilai ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai US$ 10 triliun dollar. Tidak heran, China menjadi negara mitra dagang terbesar bagi negara sekelilingnya, termasuk Indonesia.
Sayangnya, transaksi dagang antara Indonesia dengan China selama ini menggunakan mata uang dollar AS. Alhasil, saat terjadi gejolak di AS yang tidak berhubungan secara langsung dengan China ataupun Indonesia, negara-negara di Asia tetap terkena dampak. Karena itu, menurut John, Indonesia sebagai salah satu mitra dagang terbesar China harus melakukan diversifikasi dollar AS dengan mata uang lainnya seperti euro atau yen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News