Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
Apalagi, dia menilai, saat ini, ada tren struktur perekonomian mulai bergeser dari sektor industri ke perdagangan. Ini juga sudah terlihat dari hasil survei Susenas BPS di 2017, yang mencatat 12,3 juta orang bergerak di bidang usaha perdagangan dan eceran.
"Sehingga sektor industri pengolahan tidak lagi diminati, lebih berpikir lebih baik menjadi importir barang jadi," dia menambahkan.
Padahal, dia mengatakan industri pengolahan merupakan penyerap sektor tenaga kerja yang ikut memberikan transfer teknologi sekaligus salah satu sektor industri strategis.
Dampak lain, dia khawatir akan memukul daya beli masyarakat. Apalagi Indonesia digaungkan dengan bonus demografi di 2030. Bila industri pengolahan melesu dan tergempur barang impor bisa membuat penyerapan tenaga kerja menurun.
"Sekarang saja, satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan 110 ribu tenaga kerja baru. Dulu, satu % pertumbuhan ekonomi menciptakan 500 ribu tenaga kerja. Artinya dengan 5 % pertumbuhan ekonomi hari ini hanya sekitar 550 ribu orang tenaga kerja baru," dia menuturkan.
Dia pun meminta pemerintah menciptakan industri substitusi impor. Kemudian mempercepat hilirisasi, tak hanya ekspor barang baku mentah.
Adapun 15 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dinilai belum berdampak besar. Ini terlihat pada industri pengolahan yang tetap lesu.
Hal lain yang harus diperhatikan, pemerintah harus menciptakan hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan konsisten menerapkannya.
"Negara boleh enggak menerapkan non tariff barrier, harusnya itu sah dan legal. Di Indonesia kalau tidak salah ada 270 hambatan non tarifnya. Amerika Serikat yang disebut negara bebas tanpa hambatan, justru hambatan tarif bisa 2.000-4.000 lipat. China bisa sampai 4.000 hambatan non tarifnya. Artinya kenapa pemerintah tidak membuat hambatan non tarif, agar industri di dalam makin bagus, mampu bertahan dari serbuan impor," katanya. (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News