Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya yang bertajuk World Economic Outlook (WEO) merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,4% menjadi 3,3% di tahun 2020. Namun, sejumlah pihak meramal ekonomi Indonesia akan baik-baik saja.
Kepala Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai meski IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini, setidaknya masih tumbuh lebih tinggi ketimbang tahun 2019 di level 2,9%.
Artinya pertumbuhan ekonomi dunia bisa membaik biarpun sejumlah sentimen global masih bergulir antara lain perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China dan menjalar ke Uni Eropa, ketidakpastian British Exit (Brexit), dan geopolitik negera-negara Timur Tengah dengan AS.
Baca Juga: IMF pangkas pertumbuhan ekonomi global jadi 3,3%, bagaimana prospek Indonesia?
Meski demikian, Piter membaca gejolak global tidaklah sepenuhnya berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Kondisi Indonesia berbeda dengan Jepang dan India yang notabene negara ekportir dominan. Sehingga kedua negara tersebut akan sangat berdampak bila ekonomi global melempem.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi domestik paling besar berasal dari konsumsi rumah tangga dan dari investasi. Piter menilai daya beli masyarakat akan tetap terjaga di tahun ini karena harga komoditas andalan Indonesia rebound jauh dibandingkan tahun 2019, antara lain crude palm oil (CPO) atau minyak sawit, nikel, dan karet.
Adanya perbaikan harga komoditas ini, menurutnya, bukan karena pasar global, melainkan adanya intervensi pemerintah melalui program mandatory biodiesel yang terus meningkat dari tahun lalu 20% (B20) menjadi biodiesel 30% (B30).
Kebijakan tersebut kompak dilakukan oleh Malaysia sebagai salah satu produsen terbesar CPO. Dus, harga naik karena supply CPO di pasar global jadi terbatas. Perbaikan harga minyak sawit memiliki dampak besar terhadap daya beli masyarakat.
Menurut Piter, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah petani, mayoritas petani sawit. Efek domino lainnya, kinerja korporasi CPO bakal tumbuh sehingga daya beli tenaga kerja mereka terjamin.
“Daya beli masih terjaga, inflasi saya kira terkendali di level 3% meski tarif cukai rokok naik dan kenaikan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dampak turunannya tidak besar ke inflasi. Yang penting jangan sambai subsidi gas LPG dan listrik berkurang, ini bisa menggerus daya beli,” kata Piter kepada Kontan.co.id, Selasa (21/1).
Dari sisi investasi, Piter menilai, pasca tahun politik tren penanaman modal akan kembali tumbuh. Alasannya, kebijakan pemerintah dalam perekonomian sudah terukur, baik dari fiskal, moneter, dan sektor rill.
Baca Juga: IMF kurang optimis dengan pemulihan ekonomi global tahun 2020
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Omnibus Law Perpajakan, dibarengi dengan penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan masih berlangsung akan menjadi stimulus investasi berikutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News