Reporter: Tedy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Suatu saat mungkin kita perlu mencari istilah pengganti garuda untuk menyebut nama lain rupiah. Bukan apa-apa, garuda identik dengan burung yang gagah perkasa. Sedang rupiah? Di pasar valuta, rupiah sering kali letoi.
Memang, pergerakan rupiah banyak didalangi faktor eksternal dan internal yang belum ditemukan resep penyembuhnya. Misalnya, sehari setelah The Federal Reserve menggelar Federal Open Market Committee (17/9) rupiah bersama banyak valuta lain langsung terjungkal. Pada perdagangan Kamis (18/9), rupiah menembus level psikologis di Rp 12.030 per USD, setelah sejak 30 Juni 2014, selalu tertahan di 12.000.
Pangkal persoalannya, The Fed mengumumkan pemangkasan program pembelian obligasi dari US$ 25 miliar per bulan menjadi tinggal US$ 15 miliar per bulan. Keputusan ini mengindikasikan perbaikan ekonomi AS yang berujung pada semakin besarnya kemungkinan kenaikan suku bunga di negeri Paman Sam. Apabila kenaikan suku bunga The Fed jadi diwujudkan pada kuartal II tahun depan, bakal semakin suram saja nasib rupiah.
Yang tak kalah bikin repot, sudah mata uangnya kurang darah, sejak bertahun-tahun panjang industri nasional juga masih sangat tergantung dengan bahan baku impor. Sebagai gambaran, berdasar data Badan Pusat Statistik, pada Juli 2014 porsinya mencapai 78,89% dari total impor di bulan tersebut yang mencapai lebih dari US$ 14,05 juta. “Sudah lama kita punya ketergantungan impor yang tinggi. Semakin tinggi ketergantungannya sejak ekonomi tumbuh sebesar 6,5% di 2011,” kata ekonom pasar keuangan, Lana Soelistianingsih.
Tingginya impor bahan baku di tengah depresiasi rupiah berdampak pada kenaikan harga jual produk jadi. Belum lagi kenaikan harga barang sebagai akibat kenaikan harga kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hitung-hitungan BI, kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 1.000 per liter akan menambah inflasi 1,2%–1,5%. Kalau naiknya Rp 3.000 per liter laju inflasi bakal terdongkrak ke 2,5%–3%.
Alhasil, dalam jangka pendek, daya beli masyarakat akibat kenaikan harga BBM bakal terganggu. “Harga BBM naik pasti akan ada kenaikan inflasi. Tapi efeknya nggak akan lebih dari tiga bulan–empat bulan. karena setelah itu akan ada keseimbangan baru,” kata Haryadi Sukamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik.
Ini belum termasuk pengaruh kenaikan tarif tenaga listrik yang juga mempengaruhi kinerja perusahaan. Agar keuntungan tidak terpangkas, lagi-lagi konsumen yang akan menanggung akibatnya.
Kesenjangan melebar
Memang, daya beli masyarakat yang berada di lapisan ekonomi menengah ke atas masih kuat. Cuma situasi berbeda dihadapi masyarakat menengah ke bawah. “Yang suffer itu mereka. Pemerintah wajib mengatasinya,” tandas Haryadi.
Namun dalam jangka menengah–panjang, Haryadi dan Lana yakin kenaikan harga BBM bersubsidi bisa berdampak positif terhadap ekonomi nasional. Tanpa memasukkan faktor harga BBM, Lana memproyeksikan nilai tukar rupiah akhir tahun ini paling kuat bisa ditahan di kisaran Rp 11.700–an. Tahun depan, jika pemerintah menaikkan harga BBM, harga dollar AS bisa terjaga di kisaran Rp 11.300 hingga Rp 11.500. Tapi itu baru bisa terjadi apabila dana hasil pemangkasan subsidi BBM dialihkan ke program prioritas, seperti pembangunan infrastruktur. “Struktur APBN yang lebih sehat akan menjadi sentimen positif bagi rupiah,” kata Lana.
Semoga!
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 1 - XIX, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News