kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Harga Melambung, Berapa Potensi Tambahan Subsidi Energi untuk Tahun 2022?


Rabu, 18 Mei 2022 / 20:16 WIB
Harga Melambung, Berapa Potensi Tambahan Subsidi Energi untuk Tahun 2022?
ILUSTRASI. Petugas melakukan pengisian bahan bakar jenis biosolar di SPBU Pertamina, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/2/2021). Harga Melambung, Berapa Potensi Tambahan Subsidi Energi untuk Tahun 2022?


Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Peningkatan harga komoditas tak hanya membawa dampak baik ke perekonomian Indonesia. Namun, lonjakan harga komoditas ini juga berpotensi menaikkan harga energi dalam negeri. 

Dengan lambungan harga energi tersebut, pemerintah menyiratkan tengah menghitung potensi tambahan subsidi energi dalam anggaran tahun ini. Meski, pemerintah masih belum bisa memberi gambaran, berapa kocek tambahan yang harus dirogoh oleh pemerintah. 

Analis makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz menilai, pemberian tambahan subsidi oleh pemerintah memang perlu, tetapi ia khawatir ini akan memberatkan kemampuan fiskal pemerintah. 

“Karena memang perbedaan harga bahan bakar domestik dan global sudah besar, sehingga subsidi yang lebih besar akan lebih membebankan fiskal,” tutur Faiz kepada Kontan.co.id, Minggu (15/5). 

Baca Juga: Menghitung Beban Subsidi Energi dari Kebijakan Menahan Harga Pertalite

Faiz mengimbau, perlu adanya penyesuaian harga di dalam negeri dengan harga global. Namun, penyesuaian harga tidak boleh terlalu tinggi agar tidak mengganggu pemulihan masyarakat. 

Sembari melakukan hal ini, Faiz juga mengimbau pemerintah memberikan perluasan bantuan sosial atau perlindungan sosial, dan lebih tepat sasaran kepada kelas menengah bawah. Ini untuk mendukung kemampuan konsumsi dari kelompok yang rentan tersebut. 

“Kalaupun realokasi anggaran, fokusnya lebih baik ke bantuan sosial yang tepat sasaran. Untuk besarannya, harus bisa menutup daya beli kelompok tersebut. Jadi, kompensasi untuk kenaikan harga-harga dari dampak penyesuaian energi di dalam negeri,” kata Faiz. 

Faiz kemudian memberikan hitungan berapa kocek yang baiknya disiapkan oleh pemerintah terkait ini. Menurut perkiraannya, dalam menjaga daya beli masyarakat, dibutuhkan tambahan sekitar Rp 1 juta per kepala keluarga. 

Bila ada 155 juta keluarga yang berada dalam kategori rentan dan satu keluarga beranggotakan empat orang, maka ada sekitar 40 juta kepala keluarga. Artinya, dalam satu bulan, pemerintah perlu mengeluarkan tambahan sekitar Rp 40 triliun. 

Bila penyesuaian harga bahan bakar domestik dimulai di paruh kedua tahun ini, maka perlu sekitar 6 bulan kompensasi perlindungan sosial untuk sisa tahun ini, sehingga yang dibutuhkan oleh pemerintah adalah sekitar Rp 240 triliun untuk tambahan perlindungan sosial. 

Baca Juga: Konsumsi Meningkat, Subsidi Energi Berpotensi Melonjak

Sebaliknya, ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky memandang, pemerintah memang perlu menambah subsidi energi, untuk mengurangi beban masyarakat. Namun, ia sepakat dengan Faiz, langkah ini memang mengandung risiko terhadap kondisi fiskal pemerintah. 

Rata-rata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) pada April 2022 mencapai US$ 113,5 per barel, atau meningkat 80,2% dibandingkan harga asumsi ekonomi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. 

Dengan asumsi besaran subsidi energi akan meningkat mengikuti kenaikan harga ICP tersebut yang sebesar 80,2%, maka Riefky menghitung, total belanja wajib pemerintah akan membengkak menjadi Rp 2.390,9 triliun atau 88,1% dari total belanja. 

Ini disumbang dari potensi peningkatan belanja subsidi energi dari Rp 134 triliun menjadi Rp 241,4 triliun, sehingga total belanja subsidi meningkat dari Rp 207 triliun menjadi Rp 314,4 triliun. 

Dengan potensi belanja yang membengkak  dan adanya tambahan beban fiskal, maka Riefky mengimbau adanya reformasi dari sistem subsidi energi ini. Terlebih, dalam praktiknya, penyaluran subsidi energi tidak tepat sasaran. 

Baca Juga: Pengamat Sebut Kebijakan Penetapan Harga Pertalite Perlu Diubah

“Bisa kita lihat, misalnya bahan bakar untuk Pertalite bisa dinikmati tidak hanya masyarakat miskin. Pun dengan LPG 3 kg. Dengan kondisi minyak dunia naik, Pertamax menjadi lebih mahal dan banyak yang beralih ke Pertalite sehingga kebijakan subsidi sekarang tidak efektif,” tutur Riefky.

Selain penambahan subsidi energi, Riefky juga menyarankan perluasan penyaluran perlindungan sosial. Dalam hal ini, Riefky meminta masyarakat miskin dan membutuhkan lebih dijangkau oleh pemerintah. 

“Bisa dengan bisa subsidi energi direvisi, diberikan dengan skema subsidi lain, seperti bantuan langsung tunai, transfer tunai, dan bisa diambil dari pos anggaran subsidi,” tandas Riefky. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×