Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Partai Golongan Karya mengaku tidak puas dengan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) yang baru disahkan dalam sidang paripurna anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (12/4) kemarin. Alasannya, tidak semua pandangan Golkar terkait penyelenggaraan pemilu terakomodasi dalam UU tersebut. Meski begitu, Golkar mengaku telah memberikan toleransi yang tinggi dalam rampungnya UU Pemilu yang baru ini.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengaku UU Pemilu ini tentu tak sepenuhnya dapat memuaskan semua pihak. Dan hal tersebut adalah wajar. Meski begitu, UU Pemilu ini menurut Priyo telah mengalami banyak kemajuan. "RUU yang telah diketuk palu menjadi UU tentu masih belum bisa puaskan semua pihak dan ini memang wajar. Meski begitu, harus bisa menilai hal ini dengan jernih," tutur Priyo di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (13/4).
Priyo menambahkan meski tak seluruhnya aspirasi Partai Golkar menyangkut penyelenggaraan pemilu dapat tertampung dalam UU ini, Golkar telah memberikan toleransi tinggi atas nama kebersamaan. Pasalnya, sebelum ketuk palu, Golkar memberikan opsi untuk ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah sebesar 5% serta penghitungan konversi suara dengan menggunakan metode divisor dengan varian Webster.
Namun dalam paripurna tersepakati besaran PT hanya sebesar 3,5% dan penghitungan konversi suara dengan menggunakan metode kuota murni. Karena itu, menurut Priyo, sudah banyak substansi ideal yang tidak tercapai menurut standar Golkar. "Golkar sebenarnya tidak puas. Tapi keputusan ini merupakan langkah terbaik dan harus dihormati. Karena itu, kami senang telah memberikan toleransi demi kepentingan bersama," imbuhnya.
Sebelumnya, dalam pembahasan di Panitia Khusus RUU Pemilu itu, fraksi-fraksi sulit mencapai kesepakatan terhadap empat isu krusial. Menjelang pengambilan keputusan, tiga isu diselesaikan dengan musyawarah mufakat, yakni ambang batas parlemen disepakati sebesar 3,5%, sistem pemilu dengan sistem proporsional terbuka serta dan alokasi kursi 3-10 per daerah pemilihan (dapil) untuk DPR dan 3-12 per dapil untuk DPRD.
Satu isu lagi, yakni metode penghitungan suara menjadi kursi, harus diselesaikan dengan voting. Akhirnya, metode kuota murni dipilih setelah didukung mayoritas anggota dalam voting ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News