kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45899,63   -8,92   -0.98%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Golkar: Fokus wujudkan universitas berbasis riset


Kamis, 06 Februari 2014 / 20:31 WIB
Golkar: Fokus wujudkan universitas berbasis riset
ILUSTRASI. Varises


Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Tri Adi

JAKARTA. Pendidikan berkualitas yang menghasilkan lulusan terbaik serta hasil riset yang mumpuni hingga bisa membantu kemajuan bangsa menjadi tujuan utama Partai Golongan Karya (Golkar). Untuk itu, partai pohon beringin ini akan berjuang semaksimal mungkin untuk mewujudkan impian ini.

Ketua Komisi Pendidikan dari Partai Golkar, Syamsul Bachri, mengatakan, pemerintah perlu memperluas akses pendidikan. Bukan hanya di pendidikan menengah saja tetapi juga mencakup pendidikan tinggi. "Negara harus menyediakan anggaran untuk pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta," katanya.

Masih banyaknya anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat universitas jadi indikasi belum meratanya akses pendidikan. Golkar menginginkan adanya proporsi anggaran yang sesuai sehingga peningkatan mutu pendidikan menyentuh seluruh jenjang.

Untuk itu, Sekretaris Koordinator Bidang Kesra Fraksi Partai Golkar DPR RI Hetifah bilang, pendidikan berbasis riset dan teknologi (riset) menjadi fokus utama Golkar dalam mengembangkan program pendidikan. Tapi, menjadi masalah adalah anggaran riset masih minim. "Hanya sekitar 0,08 % dari APBN. Seharusnya anggaran ini bisa lebih besar hingga 10 kali lipat," ujar Hetifah.

Golkar punya program menggabungkan Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Adapun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nantinya hanya mengurusi pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan atas saja.

Langkah ini tidak lain guna mengembangkan universitas berbasis riset. Dengan semakin banyaknya universitas berbasis riset, maka lebih banyak lagi temuan untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia. "Saat ini banyak kebijakan bersifat politis," katanya.

Dampaknya, alokasi anggaran pendidikan terkadang masih suka ditekan besarannya. Padahal, amanat Undang Undang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. "Praktiknya yang mengelola dana ini tidak hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," katanya.

Ujungnya, penyerapan anggaran pendidikan tidak optimal. Contohnya, penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS) yang disamaratakan untuk seluruh wilayah.

Padahal kondisi masing-masing wilayah berbeda. Misalnya, Jakarta bantuan bisa didistribusikan dengan mudah. Tapi, untuk daerah terpencil terkendala akses. "Di daerah Kalimantan dana BOS itu habis untuk biaya transportasi," ungkap Hetifah.

Golkar menyarankan untuk membuat sejumlah komponen untuk menentukan jumlah bantuan pendidikan, seperti halnya Komponen Hidup Layak (KHL) dalam penghitungan Upah Minimum Provinsi. Selanjutnya, pemerintah daerah bisa mengalokasikan dana bantuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, baik peningkatan infrastruktur, kualitas tenaga pendidik atau kebutuhan siswa.

Tapi faktanya, banyak daerah tidak bisa mengelola dana bantuan dari pusat karena berbagai kendala. Salah satunya karena dana yang diterima tidak cukup memenuhi kebutuhan pendidikan. "Biaya untuk membangun tiga ruang kelas di daerah Jawa Tengah hanya cukup untuk memperbaiki satu ruang kelas di Kalimantan," paparnya.

Begitu pula soal kebutuhan pengajar dan para siswa yang berbeda di masing-masing daerah. Untuk hal ini, pemerintah seharusnya melihat dengan lebih dekat kebutuhan mereka.

Selain itu, untuk program sertifikasi guru yang sudah berjalan dipandang cukup efektif motivasi tenaga pendidik. Seharusnya ditambah untuk para pengajar di daerah perbatasan, seperti tunjangan perbatasan. "Guna menarik minat mengajar di daerah perbatasan sehingga menunjang pemerataan," katanya.

Singkat kata, Golkar berjanji mewujudkan pendidikan berkualitas.

Bisa mengurangi fungsi pendidikan

Gagasan Partai Golongan Karya (Golkar) untuk menggabungkan perguruan tinggi ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) dipandang cukup baik. Pasalnya, ide ini dapat mengurangi berbagai kelemahan sistem pendidikan di Indonesia. Terutama kelemahan mengenai pemanfaatan anggaran yang selama ini cenderung komsumtif. "Idenya bagus, tidak hanya bermain pada tataran policy," kata Indria Samego, pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Adapun program pemerataan bantuan pendidikan selama ini juga sudah dilakukan pemerintah saat ini. Tapi dalam pelaksanaannya masih banyak kebocoran. Alih alih pemerataan untuk menunjang pendidikan justru akhirnya pemerataan korupsi.

Karena itu, diperlukan pengawasan ketat, baik secara internal maupun dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Apakah Golkar bisa menjamin bantuan pendidikan tidak dikorupsi?" lanjutnya.

Psikolog politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menilai bahwa pemisahan pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan cara efektif untuk memaksimalkan universitas berbasis riset. "Untuk memaksimalkan fungsi pendidikan tinggi yang tidak hanya mendidik, namun juga melakukan sejumlah riset, memang seharusnya dibentuk Kementerian sendiri," ujarnya.

Namun, Hamdi memandang penggabungan perguruan tinggi ke Kemristek bukan ide yang bagus. Meski berbasis riset, perguruan tinggi tetap memiliki fungsi mendidik dan pendidikan.

Adapun beban para dosen adalah 70% melakukan penelitian dan 30% mengajar. Adapun untuk pendidikan menengah, 100% beban guru adalah mendidik.

Sementara itu, Kemristek hanya fokus pada penelitian untuk profesional. "Kalau perguruan tinggi digabung, maka fungsi edukasinya bisa berkurang," lanjutnya.

Seharusnya, negara justru membentuk dua kementerian untuk mengurusi masalah pendidikan, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Kementerian Pendidikan Tinggi agar tidak mengurangi fungsi masing masing.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×