Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Penerbitan global sukuk dengan mata uang dollar Amerika Serikat (AS) yang dilakukan pemerintah pada Mei 2015 senilai US$ 2 miliar ternyata tidak membuat pundi-pundi cadangan devisa naik. Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa per akhir Mei 2015 malah turun US$ 96 juta, yakni menjadi US$ 110,77 miliar dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar US$ 110,87 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, penurunan cadangan devisa bulan lalu dipengaruhi oleh kenaikan kebutuhan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. "Meskipun demikian, penerimaan devisa dari penerbitan sukuk global pemerintah mampu menahan penurunan lebih lanjut," ujarnya, Jumat (5/6).
Jika melihat lebih lanjut komponen cadangan devisa Mei, posisi aktiva luar negeri bersih naik dari Rp 1.393,99 triliun ke Rp 1.422,46 triliun. Salah satu faktor penyebab posisi aktiva luar negeri yang meningkat ini adalah penerbitan global sukuk.
Namun pos aktiva domestik bersih merosot karena penurunan pada tagihan bersih kepada pemerintah pusat dan operasi pasar terbuka. Otoritas moneter mencatat, tagihan bersihnya ke pemerintah pusat menyusut dari Rp 103,42 triliun per akhir April menjadi Rp 56,49 triliun pada akhir Mei 2015.
Penurunan terjadi lantaran pembayaran utang luar negeri pemerintah. Untuk operasi pasar terbuka yang dilakukan BI dalam pasar spot dan swap, ada penurunan Rp 29,37 triliun menjadi Rp 221,64 triliun per akhir Mei.
Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Mei masih cukup membiayai 7,1 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta masih berada di atas standar kecukupan internasional 3 bulan impor. BI mengakui cadangan devisa tersebut masih mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih pun membenarkan, penerbitan global sukuk sangat membantu menjaga cadangan devisa Indonesia di bulan lalu. Tanpa dana hasil penjualan sukuk, penurunan cadangan devisa bisa mencapai US$ 2,96 miliar, Mei lalu.
Tekanan Meningkat Ke depannya, terutama pada bulan Juni, cadangan devisa berpotensi kembali susut dalam nilai yang lebih besar. Pertama, untuk menjaga nilai tukar rupiah menjelang pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atawa The Fed akan cenderung terus tertekan dan berada pada level Rp 13.300 per dollar AS. "Sentimen di pasar cukup berat, baik dari dalam ataupun luar negeri," tutur dia.
Kedua, untuk likuiditas menjelang Lebaran. Operasi pasar terbuka BI yang turun jumlahnya berarti BI menambah jumlah uang beredar. Karena menjelang puasa dan Lebaran, permintaan uang selalu meningkat sehingga terjadi kekurangan likuiditas.
Kondisi bakal bertambah buruk dengan utang jatuh tempo pemerintah yang banyak jatuh pada bulan Juni. Di sisi lain, Kepala Ekonom BII Juniman menekankan fluktuasi nilai tukar rupiah akan semakin tinggi hingga akhir tahun ini. Situasi ini mengakibatkan BI harus terus melakukan intervensi.
Juniman memperkirakan hingga akhir triwulan II kurs dollar seharga Rp 13.300, kemudian pada akhir triwulan III naik hingga Rp 13.400, dan pada akhir triwulan IV di kisaran Rp 13.500. "Tekanan global akan semakin ketat menjelang pengumuman The Fed," papar dia.
Tekanan ini bertambah dengan kenaikan permintaan untuk persiapan puasa dan Lebaran. Karena itu, perlu ada asupan valuta asing (valas) untuk membantu cadangan devisa. Jika pemerintah bisa menjual global bond lagi maka maka pasokan cadangan devisa akan lebih terjamin. Tanpa dana hasil pinjaman baru, maka cadangan devisa akan terus tertekan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News