Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Fluktuasi nilai tukar rupiah pada akhir Maret lalu berdampak pada cadangan devisa (cadev). Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2015 sebesar US$ 111.55 miliar atau turun sebesar US$ 3,95 miliar dari posisi akhir Februari lalu yang masih di kisaran US$ 115,5 miliar.
Berkurangnya cadangan devisa kali ini terjadi karena adanya pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah dan intervensi BI di pasar untuk menjaga nilai tukar rupiah yang tertekan akibat penguatan dollar Amerika Serikat (AS).
Meski turun, BI yakin posisi cadangan devisa kini di level aman karena cukup membiayai 6,9 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Nilai ini pun masih berada di atas standar kecukupan internasional.
"BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan," ujar Direktur Komunikasi BI Peter Jacobs, Rabu (8/4). Tekanan nilai rupiah di sepanjang bulan Maret lalu memang cukup dalam.
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI merangkum, sepanjang Maret 2015, rupiah mengalami pelemahan sekitar Rp 100 per dollar Amerika Serikat (AS). Pada tanggal 2 Maret rupiah pada level Rp 12.993, kemudian pada 31 Maret pada level Rp 13.084. Bahkan, pada tanggal 16 Maret rupiah menyentuh level terendahnya yaitu Rp 13.237 per dollar AS.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, pada bulan Maret juga terjadi arus keluar atau ouflow yang cukup besar. Dirinya mencatat pada pasar saham terjadi ouflow mencapai US$ 400 juta dan pada pasar obligasi terjadi arus keluar sebesar Rp 4 triliun.
Ketidakstabilan nilai tukar rupiah ini mengakibatkan investor menarik keluar dananya. Outflow tersebut juga menjadi salah satu penyebab dompet cadangan devisa turun. Kondisi ini diperberat dengan periode pembayaran ULN pemerintah yang terjadi pada akhir triwulan yaitu Maret.
Waspadai Mei
Pada bulan April ini, Lana melihat, posisi cadangan devisa akan kembali stabil. Karena tekanan musiman permintaan dollar AS tidak setinggi di Maret. Namun memasuki Mei dan Juni, BI dan pemerintah perlu waspada. Sebab, akan ada tekanan permintaan dalam negeri yang naik dan isu Bank Sentral Amerika (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga.
Saat itulah tekanan pada rupiah akan besar. Maka itu, BI harus mengambil momentum di bulan ini dengan membawa rupiah menguat ke arah Rp 12.800 per dollar AS. "Sehingga kalau ada tekanan di Mei dan Juni, rupiah tidak perlu lagi melewati level Rp 13.200," terang Lana kepada KONTAN.
Cara yang bisa dilakukan BI agar rupiah kembali ke arah Rp 12.800 adalah dengan menarik peredaran rupiah atau menggelontorkan cadangan devisa. Kata Lana, permintaan yang tidak tinggi pada bulan ini harus dimanfaatkan. Akan semakin sulit bagi BI ketika rupiah sudah bertengger pada level Rp 13.200 untuk kemudian melakukan intervensi.
Di sisi lain, Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina melihat turunnya cadangan devisa pada Maret lebih dikarenakan pembayaran ULN pemerintah. Upaya intervensi untuk menstabilkan rupiah, menurutnya tidak besar. Dian mengakui BI cenderung berhati-hati dalam mengeluarkan cadangan devisa untuk menstabilkan rupiah. Pasalnya, pengaruh eksternal kuat sehingga akan sia-sia bagi BI apabila mengintervensi pasar.
"Tahun ini menjadi tahun yang sangat volatile bagi rupiah," paparnya. Yang bisa dilakukan untuk mempertebal cadangan devisa adalah meningkatkan volume ekspor minyak dan gas. Meski harga minyak sedang drop, Indonesia bisa memperbesar volumenya untuk meningkatkan pemasukan.
Ke depannya, Dian melihat cadangan devisa Indonesia masih bergerak pada level di atas US$ 100 miliar. Penerbitan samurai bond yang akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat bisa menambah pasokan cadangan devisa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News