Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Partai Gerindra mengusulkan Wakil Ketua Umumnya, Fadli Zon sebagai pimpinan DPR periode 2014-2019. Sementara untuk kursi pimpinan MPR, Gerindra mengajukan Sekjennya Ahmad Muzani.
"Fadli Zon pimpinan DPR, Muzani pimpinan MPR. Kami menyiapkan dua orang. Mau ketua atau wakil ketua kita liat nanti," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/9).
Edhy megatakan, keputusan itu sudah disetujui oleh Ketua Dewan Pembina yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
"Prabowo sepakat dan merestui. Tidak ada dissenting opinion," ujarnya.
Nantinya, kata dia, kedua nama tersebut akan diajukan bersandingan dengan politisi dari koalisi Merah Putih lainnya dalam satu paket. Berdasarkan tata tertib, calon pimpinan DPR diajukan dalam satu paket yang berisi lima orang dari fraksi yang berbeda.
Sebelumnya, MK memutuskan menolak semua permohonan uji materi UU MD3 yang diajukan PDI Perjuangan. Dengan demikian, PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2014 tidak otomatis mendapatkan posisi ketua DPR periode 2014-2019. PDI-P bersama koalisinya bahkan harus berjuang untuk mendapat kursi pimpinan DPR.
Mahkamah berpendapat, alasan pemohon tidak berdasar bahwa konfigurasi pimpinan DPR haruslah mencerminkan konfigurasi pemenang pemilu dengan alasan menghormati kedaulatan rakyat yang memilih. Pasalnya, pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, serta DPRD, bukan untuk memilih pimpinan DPR.
Menurut Mahkamah, masalah pimpinan DPR menjadi hak dan kewenangan anggota DPR terpilih untuk memilih pimpinannya yang akan memimpin lembaga DPR. Hal itu dianggap lazim dalam sistem presidensial dengan sistem multipartai karena konfigurasi pengelompokan anggota DPR berubah ketika berada di DPR berdasarkan kesepakatan masing-masing.
Berbeda halnya dengan sistem presidensial dengan dua partai politik, yang secara otomatis fraksi partai politik dengan jumlah anggota terbanyak menjadi ketua DPR. Kalaupun dipilih, hasil pemilihannya akan sama karena dipastikan partai politik mayoritas akan memilih ketua dari partainya.
"Dalam praktik politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan sistem multipartai, kesepakatan dan kompromi politik di DPR sangat menentukan ketua dan pimpinan DPR karena tidak ada partai politik yang benar-benar memperoleh mayoritas mutlak kursi di DPR sehingga kompromi dan kesepakatan berdasarkan kepentingan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari," kata hakim konstitusi. (Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News