Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Fadly Zon, mengkritik ketentuan Presidential Treshold (PT) 20% dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menurutnya bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itulah, ia meminta DPR membawa persoalan ini ke ranah publik.
Fadly menjelaskan, Pasal 6 UUD 1945 menyebut bahwa presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik (Parpol) atau gabungan partai politik. Sama sekali tak ada ketentuan Presidential Treshold. "Sehingga penerapan PT mencederai hak warga negara dan prinsip demokrasi," ujar Fadly kepada KONTAN melalui pesan blackberry messenger (BBM), Rabu (10/7).
Pembatasan Presidential Treshold, menurut Fadly, hanya akan membuat praktik politik transaksional terus berlanjut. Bahkan, kondisi ini merupakan cermin oligarki partai secara sistemik yang melukai penghormatan terhadap hak setiap warga negara. "Pada akhirnya, oligarki partai inilah yang memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden," kata Fadly.
Oleh sebab itulah, Fadly menegaskan, sikap Gerindra akan terus berupaya merevisi syarat pencalonan Presiden dengan Presidential Threshold sebesar 20%. "Makanya kita menyayangkan pembahasan RUU Revisi UU Pilpres ini kembali ditunda oleh Baleg, kemarin. Padahal waktu pelaksanaan pemilu sudah semakin dekat," jelas Fadly.
Fadly berpendapat, pembahasan perlu atau tidaknya Revisi UU Pilpres seharusnya tak hanya menjadi domain baleg, DPR atau Parpol saja. Pembahasan ini juga harus melibatkan partisipasi masyarakat. "Karena yang akan memilih Presiden adalah rakyat. DPR juga perlu mendengar aspirasi masyarakat soal syarat pencalonan,"pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News