kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   18.000   1,19%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Gelombang PHK Melanda, Celios Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tidak Berkualitas


Senin, 09 September 2024 / 10:50 WIB
Gelombang PHK Melanda, Celios Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tidak Berkualitas
ILUSTRASI. Buruh beraktivitas pada proyek galian saluran air baku di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/5).


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Ekonomi Digital dan ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperhatikan kondisi pelemahan ekonomi yang terjadi dalam 10 tahun terakhir serta dampaknya terhadap sosial di masa depan. 

Dihubungi Kontan belum lama ini, Nailul menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak berkualitas, karena salah satu indikatornya adalah terlalu kedap dalam menyerap tenaga kerja. 

"Dahulu, 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap hingga lebih dari 400.000-an tenaga kerja. Saat ini 1% ekonomi hanya menyerap 100.000-an tenaga kerja saja. Jadi memang masih jadi PR dalam hal kualitas pertumbuhan ekonomi," paparnya kepada Kontan.co.id. 

Kedua, dia memperhatikan bahwa kondisi tenaga kerja di masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dibilang terjadi informalisasi dimana tenaga kerja informal sangat dominan. Dia menjabarkan saat ini, sebanyak 59% lebih pekerja terserap sektor informal. 

Baca Juga: Konsumsi Rumah Tangga pada Kuartal III Diprediksi Tumbuh Meski Belum Stabil

Masalahnya, lanjut Nailul, tenaga kerja informal tidak memiliki perlindungan sosial yang mumpuni dan seringkali tidak ada perlindungan. Secara pendapatan pun, pendapatan rata-rata pekerja informal jauh di bawah upah minimum, sehingga secara kesejahteraan lebih buruk. 

"Bisa dibilang Jokowi melakukan informalisasi tenaga kerja," ujarnya. 

Ketiga, terjadinya deindustrialisasi prematur yang menunjukkan kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal. Nailul menyatakan, proporsi industri manufaktur terhadap PDB hanya 18%. Padahal 10 tahun yang lalu, proporsi pernah mencapai 20% lebih. 

PMI Manufaktur juga terus melambat dalam beberapa bulan terakhir yang terus menekan sektor manufaktur. Belum juga ditambah serbuan produk impor yang semakin menekan industri dalam negeri.

Baca Juga: Warga Kelas Menengah Masih Irit Belanja

Dia juga menyoroti UU Cipta Kerja yang tidak ada gunanya karena tidak ada investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja yang besar. Sebaliknya, sektor industri porsinya terus menurun dibandingkan PDB nasional. 

Penurunan ini terjadi dari sekitar 22% di tahun 2010-an awal, sekarang hanya 18% saat ini. Praktis, tidak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Presiden Jokowi, sebaliknya malah yang jamak terjadi adalah PHK.

"Dampak yang paling saya khawatirkan adalah peningkatan jumlah pengangguran dimana ketika tidak ada permintaan yang kuat, produksi cenderung melambat. Perusahaan akan memangkas produksi, terbukti IPM melemah. Pertumbuhan ekonomi bisa melambat dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat semakin jauh," urainya. 

Baca Juga: PHK Massal di Industri Tekstil, API Desak Perbaikan Regulasi Importasi

Nailul berpendapat, Pemerintah harus pintar membuat kebijakan yang cenderung mempunyai dampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga. 

Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah, pembatalan rencana kenaikan tarif PPN tahun depan. Lalu, Pembatasan pertalite harus dilakukan secara matang dengan melihat unsur keadilan bagi penerima subsidi.

"Kemudian kebijakan tarif PPN ke 12% saya rasa juga patut dibatalkan. Lalu, berikan subsidi untuk KRL sehingga kelas menengah tidak semakin terhimpit. Kemudian bisa juga melalui kebijakan perpajakan dengan penurunan batas PTKP," paparnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×