Reporter: Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Istilah Pertalite tiba-tiba “meledak” menjadi topik hot. Adalah PT Pertamina (Persero) yang mengenalkan nama itu sebagai merek baru produknya. Yang membuat miris, di balik kisah Pertalite, muncul spekulasi bahwa pemerintah tetap tak bergigi mengatasi praktik rente bahan bakar minyak (BBM) dan akrobat para mafia minyak dan gas (migas).
Cerita Pertalite juga menohok saraf malu kita sebagai rakyat Indonesia. Betapa tidak, infrastruktur produksi perusahaan minyak terbesar di negara ini yang selalu berambisi ingin menjadi pemain migas global ternyata tak mampu membikin BBM berkualitas untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Tengok saja bagaimana latar belakang kemunculan Pertalite. Cerita bermula dari rekomendasi tim Reformasi dan Tata Kelola (RTK) Migas. Tim RTK mengeluarkan rekomendasi agar BBM yang memiliki research octane number (RON) 88 dihilangkan, lantas beralih ke penggunaan BBM RON 92.
Ada dua alasan bensin premium alias RON 88 harus hilang. Pertama, masalah neraca perdagangan Indonesia yang timpang akibat impor BBM. Kedua, rente impor RON 88 akibat ulah mafia migas yang mampu mengendalikan harga secara sepihak. “Lewat Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang mekanismenya mereka atur sendiri,” kata Agung Wicaksono, anggota Tim RTK Migas, kepada KONTAN, Rabu (23/4).
Berbeda dengan dengan RON 92, RON 88 tidak memiliki acuan harga jual. BBM ini tidak merujuk ke Mean of Platts Singapore (MOPS). Produk RON 88 juga cuma ada di Indonesia. “Di negara lain sudah tidak ada yang menjual, akibatnya barang ini bisa mereka atur seenaknya sendiri,” sambungnya.
Tim RTK memberi saran, masa penghapusan premium selama enam bulan. Semua pihak, termasuk pemerintah, wakil rakyat di parlemen alias Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pertamina pun setuju.
Sayangnya, Pertamina tidak menyanggupi waktu penghapusan premium seperti yang termuat dalam rekomendasi tim RTK. Alasan Pertamina, dengan jumlah dan kemampuan kilangnya saat ini, mustahil untuk langsung beralih ke BBM RON 92. Dari sekitar 10 kilang yang ada di Indonesia, hanya kilang Balongan di Indramayu yang bisa memproduksi BBM dengan rating RON di atas 90.
Akhirnya, Pertamina minta perpanjangan waktu penghapusan premium selama dua tahun. Lagi pula, lanjut Agung, saat tim menentukan waktu enam bulan menghilangkan RON 88, Petral sudah telanjur meneken kontrak impor selama enam bulan ke depan. “Ini ganjil. Normalnya, impor itu tiga bulan. Kok bisa ini sampai enam bulan. Inilah mafia migas yang kami maksud,” tegas dia.
Entah kebetulan atau tidak, penundaan penghapusan premium juga mendapat dukungan dari DPR. Bahkan, anggota parlemen mengancam akan memanggil, hingga memecat anggota direksi Pertamina, jika badan usaha milik negara (BUMN) itu nekat menghapus produk premium (RON 88) secara mendadak. Alasan DPR terutama daya beli masyarakat.
Padahal, jelas-jelas persoalan utama migas di negeri ini adalah impor yang tidak transparan. Apakah kita betul-betul sudah kalah dan mengalah terhadap permainan mafia migas?
Jalan tengah
Merasa terimpit oleh terbatasnya kemampuan produksi kilang dan ultimatum DPR yang melarang menghapus premium secara mendadak, Pertamina mengambil jalan tengah. Keluarlah istilah Pertalite, BBM jenis baru ini memiliki rating RON 90. Pertalite akan melengkapi produk Pertamina yang lain seperti premium (RON 88), Pertamax (RON 92), Pertamax Plus (RON 95), serta Pertamax Racing (RON 100). Harapannya, dalam dua tahun, Pertamina mampu memproduksi Pertalite dan menghapus RON 88.
Pemerintah sendiri menegaskan akan mengikuti rekomendasi tim RTK. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bilang, Pertamina meluncurkan Pertalite untuk menggantikan produk premium (RON 88). “Pemerintah sudah menginformasikan tentang Pertalite. Tujuannya menghilangkan premium RON 88 secara bertahap hingga 2017,” ujar Sudirman.
Sekadar Anda tahu, Indonesia adalah satu-satunya negara yang masih menjual bensin dengan standar RON 88. Di Jepang, standar minimal bensin reguler adalah memiliki rating RON 90. Sementara di Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) sudah rating RON 90-91. Indonesia juga satu-satunya negara yang menjual RON 92. Negara-negara lain sudah menggunakan BBM RON 95 ke atas.
Kata Agung, bagi tim RTK entah bertahap atau tidak, RON 88 harus hilang agar bisa membatasi pergerakan mafia migas dan tak membebani neraca perdagangan negara. Menambah varian produk baru seperti Pertalite jelas bukan urusan tim RTK. Tim menganggap diversifikasi produk merupakan keputusan Pertamina sebagai perusahaan.
Cuma, ada dua hal yang menjadi perhatian penting selanjutnya. Pertama, bagaimana produk Pertalite dihasilkan dan bagaimana komposisi kandungannya? Kedua, Pertamina memang punya rencana membubarkan Petral. “Namun, bagaimana mekanisme impor selanjutnya? Bagaimana pembenahannya, transparansinya, dan bagaimana patokan harganya?” cetus Agung.
Mengamini Agung, Ramson Siagian, anggota Komisi VII DPR, menjelaskan bahwa parlemen merasa keberatan soal harga dan transparansi. Masyarakat sangat sensitif dengan harga bahan bakar migas. “Harus dibuka, transparan, terutama impor RON 88,” tegasnya.
Direktur Pemasaran dan Perdagangan Pertamina Ahmad Bambang menjelaskan,
pembuatan Pertalite akan berbeda dari proses produksi Premix yang sempat mengemuka menjadi produk baru Pertamina, tiga tahun lalu. Pembuatan Premix (Premium Mixture) berasal dari peningkatan bilangan oktan dengan cara mencampurkan BBM RON 88 dengan zat tambahan methyl tertiary butyl ether (MTBE), sejenis senyawa kimia berkadar oktan 118.
Cara ini biasa digunakan di AS pada tahun 1970-an. Namun metode ini kemudian dilarang karena dianggap menyebabkan pencemaran air tanah. Proyek Premix pun batal. Adapun Pertalite, ujar Ahmad, merupakan campuran antara high octane mogas component (HOMC) impor RON 92 sampai RON 95 dengan nafta. “Plus additive ecosave, tetapi jelas tak memakai MTBE,” jelas Ahamad.
Bisa jadi, juga seperti menghasilkan RON 88 yang mencampurkan BBM RON 92 dengan nafta dan zat additive agar rating oktan turun menjadi RON 90, seperti kata Ketua Tim RTK Faisal Basri. RON 88 dihasilkan dari blending RON 92. “Pertanyaannya, kenapa harus blending di luar negeri?” cetus Faisal, waktu itu.
Waktu yang pas
Transparansi menjadi sangat penting karena berkaitan dengan penentuan harga. Contohnya, harga BBM RON 97 di Malaysia per 1 April lalu Rp 7.971 per liter, termasuk pajak 6%. Sedang harga premium RON 88 per 28 Maret antara Rp 7.300–Rp 7.400 per liter.
Pertamina berdalih, berbeda dengan Indonesia, Malaysia bukan merupakan negara importir minyak. Tingkat konsumsi BBM Malaysia pun masih rendah.
Pertamina, terang Vice President Fuel Retail Marketing Pertamina Muhammad Iskandar, berniat memangkas impor RON 88 hingga 7 juta kiloliter (kl) di tahun ini. Dulu, harga premium sekitar Rp 4.500 per liter, Pertamax Rp 10.200 per liter, sementara Pertamax Plus Rp 10.350 per liter.
Sekarang, harga premium ditetapkan Rp 7.400 per liter dan Pertamax Rp 8.600 per liter. “Sekarang waktu yang pas untuk meluncurkan Pertalite karena jarak harga tidak terlalu jauh,” tutur Iskandar. Rencananya, Pertalite akan dijual di kisaran harga Rp 8.000 hingga
Rp 8.300 per liter.
Di samping infrastruktur kilang yang tak memadai, ada beberapa alasan Pertamina untuk menunda beralih ke bensin RON 92. Pertama, Pertalite cocok untuk memenuhi standar mesin berbahan bensin saat ini, contohnya mesin otomatis (matic). Kedua, disparitas harga yang tak terlalu jauh akan mendorong konsumen akhirnya meninggalkan premium.
Bukti yang disodorkan Pertamina, sejak subsidi BBM dicabut, konsumsi premium selama empat bulan pertama tahun ini sebesar 77.000 kl per hari, turun dari rata-rata di periode yang sama tahun lalu, yaitu 84.000 kl. Sebaliknya, konsumsi Pertamax naik 5.000 kiloliter per hari. Migrasi permintaan BBM juga dinikmati stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) lain, terutama Shell dan Total.
Ketiga, lanjut Ahmad, Pertalite muncul sebagai imbas pencabutan subsidi hingga Pertamina merugi. Harga keekonomian premium dan solar bulan ini sebenarnya Rp 8.200 dan Rp 7.450 per liter. Artinya, jika sejak subsidi BBM dicabut, digantikan subsidi tetap Rp 1.000 per liter dan harga premium ditetapkan Rp 7.400 per liter, maka Pertamina menanggung rugi Rp 800 per liter. Itulah mengapa, santer terdengar, awal bulan Mei nanti pemerintah akan menetapkan harga baru untuk premium dan solar.
Hingga kini, lanjut Iskandar, dalam menghasilkan premium, Pertamina masih impor 65% dari total produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik. Target tahun ini, ujar Iskandar, produksi premium di kisaran 78.000 kl per hari, yang setara dengan 35% dari total konsumsi BBM. Angka itu dengan asumsi banyak konsumen akan tertarik ke produk Pertalite, Pertamax, atau Pertamax Plus.
Entah apa pun keuntungan bagi Pertamina, tim RTK Migas tetap menegaskan, Indonesia yang sudah menjadi negara impor BBM terbesar kedua di dunia ini harus transparan dan bebas dari praktik mafia migas. Agung memberi contoh, harga bensin di Australia yang juga menggunakan MOPS tak ditetapkan oleh pemerintah, kecuali di Perth, Australia Barat.
Cuma, “Bagi setiap perusahaan yang ingin mengubah harga keesokan hari, pukul 14.00 hari ini dokumen sudah harus diajukan dan pukul 16.00 pemerintah memutuskan dan mengumumkan berlaku esok hari,” tutur Agung. Sementara di negara bagian lain, harga berubah lima kali sehari pun tak masalah. Semua komponennya, seperti ongkos distribusi, pajak, logistik, hingga formula penyusun harga, bisa dilihat di internet.
Yang pasti, perusahaan SPBU pesaing Pertamina seperti Petronas, Shell, dan Total belum bisa memberi keterangan banyak. Mereka bilang, Pertalite bukan cuma strategi korporasi, tapi juga kebijakan pemerintah. Lagi pula, tidak ada di antara mereka yang “head to head” dengan Pertalite RON 90.
Sedang di mata para pedagang eceran berbendera Pertamini, Pertalite tak memberi dampak apa-apa. “Justru peluang. Kami sudah membuat
Pertamina Mini untuk produk Pertamax dan Pertamina Dex,” tutur Umar Abdul Fattah..
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 31-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News