Reporter: Grace Olivia | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Ritel hanya sebanyak enam kali sepanjang tahun 2020 ini.
Frekuensi penerbitan SBN Ritel tersebut lebih sedikit dibandingkan 2019 yang mencapai 10 kali sepanjang tahun.
Selain mengurangi frekuensi penerbitan, pemerintah juga menetapkan target penerbitan SBN Ritel yang lebih rendah yaitu berkisar Rp 40 triliun sampai dengan Rp 60 triliun secara keseluruhan.
Analis Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Ifan Mohamad Ihsan mengatakan, menurunnya frekuensi penerbitan bisa jadi merupakan strategi pemerintah menggeser permintaan sehingga berdampak pada naiknya capaian penjualan untuk setiap penerbitan nantinya.
Di sisi lain, Ifan juga meyakini minat investor ritel terhadap SBN Ritel masih relatif tinggi di tahun ini.
Baca Juga: Pemerintah akan terbitkan SBN ritel enam kali tahun ini, simak jadwalnya
“Apalagi kalau lihat tahun ini akan ada SBN Ritel yang jatuh tempo yakni SR009 dan ORI014 sekitar Rp 23 triliun, sehingga hal ini bisa menjadi katalis positif untuk penerbitan SBN Ritel nanti,” kata dia kepada Kontan.co.id, Selasa (7/1).
Senada, Analis Obligasi Danareksa Sekuritas Amir Dalimunthe mengatakan, prospek SBN Ritel masih cukup bagus di tahun ini terlepas dari tidak tercapainya target penjualan SBN Ritel di tahun 2019. Melihat pertumbuhan investor baru yang cukup tinggi di tahun lalu, ia cukup optimis terhadap pasar SBN Ritel di 2020.
“ Frekuensi penerbitan yang lebih sedikit sebenarnya memberikan peluang untuk masyarakat mengumpulkan dananya dulu untuk membeli lebih banyak pada saat penawaran,” kata Amir.
Baca Juga: Kuartal I-2020, pemerintah targetkan raup dana Rp 165,5 triliun dari penerbitan SBN
Hanya saja, menurutnya pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi pasar dan yield yang ditawarkan dalam menentukan target nominal dalam setiap periode penawaran SBN Ritel.
Apalagi, tambah Ifan, investor ritel cenderung tidak memperhatikan kondisi pasar saat penerbitan dan umumnya lebih cenderung membandingkan dengan tingkat kupon pada penerbitan-penerbitan sebelumnya.
“ Mengingat penerbitan sebelumnya memberikan kupon yang cukup tinggi karena tingginya suku bunga acuan, maka hal tersebut bisa memberikan efek negatif bagi penerbitan tahun ini mengingat suku bunga acuan sedang rendah sekarang,” sambungnya. Baca Juga: Berharap Cuan dari Reksadana dan Obligasi Ritel Tahun Depan
Oleh karena itu, Ifan menilai, pemerintah harus dapat menawarkan kupon imbal hasil yang kompetitif agar bisa tetap meanrik minat investor ritel, setidaknya di atas rata-rata suku bunga deposito perbankan saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News