Reporter: Agus Triyono | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rumus baru upah minimum provinsi atau UMP dalam paket kebijakan jilid IV nampaknya tak membuat semua pihak happy. Utamanya para buruh.
Mereka menilai: rumus anyar itu hanya menguntungkan pengusaha, tapi merugikan buruh.
Para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Komite Persiapan-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI), Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) hingga Serikat Pekerja Nasional (SPN) mengancam akan menggelar aksi mogok nasional, menentang formula baru UMP.
Mereka siap keluar dari kawasan industri untuk memblokade jalan tol, pelabuhan, bandara, dan semua kawasan industri, akhir Oktober ini.
Para buruh menilai, pertama, formula upah baru yang menghitung kenaikan upah berdasarkan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi merugikan karena menyeragamkan upah nasional untuk tiap provinsi. Padahal, kenaikan harga barang dan jasa di tiap daerah bisa berbeda satu dengan daerah lain.
Kedua, penetapan rumus baru dinilai juga telah mengebiri hak pekerja dan serikat pekerja dalam penentuan upah. "Ini melanggar konvensi (ILO) The International Labour Organization, " ujar Subiyanto Pundi, Sekjen KSPSI, kepada KONTAN, Minggu (18/10).
Pemerintah seharusnya tidak boleh menentukan upah sepihak. "Upah harus ditentukan pekerja, dan pengusaha, pemerintah hanya memfasilitasi saja," ujar dia.
Para buruh tetap ingin hitungan upah mengacu kondisi ekonomi daerah berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), tidak dipatok lima tahun.
Catatan Aliansi Buruh Yogyakarta, seperti dikutip di kabarburuh.com, jika kenaikan upah buruh Yogyakarta mengikuti formula baru, yakni hanya naik 10%, kenaikan upah menjadi Rp 1.430.000 per bulan, dari upah tahun ini Rp 1,3 juta.
Upah ini jauh di bawah hasil survei KHL tahun 2016 di Yogyakarta Rp 2,5 juta per bulan. KSPSI juga menilai, rumus yang ditetapkan pemerintah terlalu sederhana, tak mengakomodir hak buruh seperti di UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan.
Sesuai UU, "Ada lima asas; survei KHL, pertumbuhan ekonomi daerah, pasar kerja, upah daerah sekitar, baru inflasi, sekarang ini dikebiri tinggal dua," katanya.
Timboel Siregar, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menambahkan, PP Pengupahan baru juga bertentangan dengan pasal 89 ayat 3 UU Ketenagakerjaan. Rumus itu mengebiri kewenangan gubernur untuk menetapkan upah minimum dan dewan pengupahan daerah untuk melakukan survei komponen hidup layak.
Timboel mengatakan, OPSI akan menggugat rumus upah baru ke Mahkamah Agung (MA) jika pemerintah mengesahkan RPP Pengupahan. "Kami akan menggugat jika telah mendapatkan PP Pengupahan yang ditandatangani presiden," kata Timboel.
Meski begitu, formula baru ini mendapat apresiasi pengusaha karena memberikan kepastian biaya atas upah buruh, ketimbang formula saat ini yang sering menimbulkan ketegangan antara pengusaha dan buruh. "Ini terobosan jenius, tak ribet dan makan waktu," ujar Irwan Hidayat, Dirut Sido Muncul.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri tetap akan mengesahkan formula baru ini bagi buruh dengan masa kerja 0-12 bulan dan akan ditetapkan awal November untuk upah 2016.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News