Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Johana K.
JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017 sebesar 5,01% year on year (yoy). Angka itu sama persis dengan angka kuartal I 2017. Namun dibanding pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2016 sebesar 5,18%, pencapaian di kuartal II 2017 melambat.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi semester I 2017 mencapai 5,01% yoy, melambat dari semester I 2016 yang sebesar 5,04% yoy.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai, target pertumbuhan ekonomi 5,2% akan sulit dicapai pada tahun ini. Menurut dia, kondisi ini disebabkan oleh penerimaan pajak yang sulit terkejar dan tak adanya ruang untuk penghematan lagi. “Kemungkinan besar tidak bisa mengejar 5,2%. Karena, kemungkinan masih akan terjadi shortfall pajak tahun ini lantaran realisasi Januari-Mei cuma 31%, itu dibagi lima dapat penerimaan pajak bulanan, dikalikan 12, shortfall-nya sekitar Rp 344 triliun kalau hitungan asal,” katanya di kantor INDEF, Jakarta, Selasa (8/8).
Maka dari itu, menurut Faisal, solusi satu-satunya adalah pemotongan belanja infrastruktur. Namun, langkah itu tidak mungkin terjadi lantaran sudah menjadi program Presiden. “Saya takut membayangkan pengakuan shortfall itu di Oktober, makanya PNS kalau ada program, percepat realisasinya sebelum keburu dipotong (belanjanya),” jelas dia.
Bila demikian, menurut Faisal, terjadi kemelut fiskal yang solusinya cuma satu, yakni potong belanja infrastruktur, “There is no other choice karena yang rutin-ritin sudah dipotongi. Most likely akan krisis kecil tahun depan, pertumbuhan bisa turun 3% tahun depan,” ucapnya.
Faisal pun pesimistis pertumbuhan ekonomi tahun depan mecapai 5,4% hingga 6,1%. “Hampir mustahil,” katanya.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal akan melakukan pelonggaran (easing) kebijakan moneter guna menggairahkan perekonomian di paruh kedua tahun ini. Pasalnya, pada paruh pertama, perekonomian dinilai tumbuh lamban di sektor riil, meski di sisi makro tetap terjaga.
Namun, menurut Faisal, langkah ini tetap tidak mungkin bisa membantu perekonomian untuk tumbuh. Pasalnya, defisit pemerintah naik, sehingga utangnya harus tambah dengan menerbitkan SUN. "SUN akan naikkan suku bunga, bagaimana mau easing? Tidak ada ruang moneter lagi yang kuat, monetary easing sekarang 4,75% mau dijadikan 4%. Inflasinya akan menjadi 4% nanti karena harga-harga pangan naik,” terang dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News