kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Era suku bunga rendah bakal berakhir tahun ini?


Rabu, 27 Desember 2017 / 08:10 WIB
Era suku bunga rendah bakal berakhir tahun ini?


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dorongan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan BI Seven Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) pada tahun depan semakin menguat. Kalau benar terjadi, pertanda era suku bunga rendah bakal berakhir pada tahun ini.

Sejumlah risiko dari dalam maupun luar negeri menjadi alasannya. Selain tekanan inflasi yang makin kuat dan risiko nilai tukar rupiah, penguatan harga minyak, dan kenaikan suku bunga Federal Reserve (The Fed) dan bank sentral negara maju lain menjadi penyebabnya.

Head of Industry and Regional Research Departement PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani menjelaskan risiko-risiko tersebut. "Pemerintah punya target inflasi yang relatif rendah tahun depan dengan asumsi harga minyak yang US$ 48 per barel, tetapi sekarang sudah di US$ 60 hingga US$ 64 per barel. Tren ke depan prediksi kami US$ 60," ungkap Dendi, akhir pekan lalu.

Dengan kondisi itu, dia menyebutkan, ada dua skenario yang mungkin terjadi pada tahun. Pertama, harga BBM tidak naik alias dipertahankan oleh pemerintah, tetapi selisih harga diserap oleh Pertamina. Hal ini akan menjadi beban ke keuangan bagi Pertamina.

Skenario kedua, selain efisiensi, Pertamina tidak menambah suplai BBM penugasan RON 88 atau BBM jenis premium. "RON 88 suplainya tidak ditambah. Sekarang sudah kelihatan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) bahwa ada pengumuman Premium habis. Jadi orang dipaksa memakai RON 90 ke atas. Secara langsung RON 88 tidak naik tapi RON 90 naik, ini akan berdampak sedikit banyak ke tekanan inflasi," jelas Dendi.

Untuk menyetabilkan inflasi, maka mau tak mau BI harus menaikkan suku bunga acuannya. Meski begitu Bank Mandiri tetap berharap otoritas moneter akan mempertahankan BI 7 DRRR di 4,25% sampai akhir 2018.

Risiko kenaikan harga minyak juga diungkapkan Tim ekonom DBS dalam laporan DBS Group Research Regional Industry Focus yang bertajuk Regional Industry Focus: Oil and Gas yang dikutip KONTAN, Selasa (26/12). Dalam laporan itu, DBS memprediksi harga minyak dunia pada tahun depan terkerek ke posisi US$60-65 per barel.

Kenaikan harga minyak akan berefek domino. Selain mendorong kenaikan harga bahan pokok dan jasa lainnya, tekanan inflasi juga akan makin besar. DBS memprediksi tiap 10% kenaikan harga minyak mentah dunia akan berdampak terhadap peningkatan inflasi sebesar 0,6%.

Namun Senior ASEAN Economist UBS Investment Bank Edward Teather menilai, dari sisi inflasi Indonesia masih akan berada di kondisi yang kondusif pada tahun depan. Namun, dia memproyeksi, BI akan menaikkan suku bunga acuannya pada tahun depan seiring normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju dan risiko geopolitik.

Salah satunya adalah langkah The Fed yang kembali menaikkan bunga dananya alias Fed Fund Rate sebesar 0,25% menjadi 1,25–1,5%. Menyusul kenaikan itu, Bank Sentral Tiongkok mengerek bunga acuan sebesar 5 basis poin. "Kami melihat bahwa BI akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada semester II tahun depan untuk mencerminkan perbaikan ekonomi dan menjauhkan rupiah dari meningkatnya suku bunga The Fed," terang Edward. ghina

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×