Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Mantan Menteri Perhubungan Emil Salim angkat bicara soal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dinilai tidak feasible secara ekonomi.
"Mengapa pakai dana pinjaman Tiongkok untuk proyek yang tidak hasilkan valuta asing, ada ketidakcocokan, dana pembiayaan antara valuta asing dengan Rupiah loan," kata Emil dalam keterangan pers, Kamis (22/10).
Menteri Perhubungan pada tahun 1973 sampai 1978 ini menjelaskan, sungguh pun pola proyek business to business, tapi sejatinya yang terlibat bisnis itu ialah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang modalnya merupakan kekayaan-negara yang dipisahkan.
"Sehingga bila ada kerugian business dalam usaha kereta cepat maka resiko bisnis harus ditanggung BUMN yang pemegang sahamnya adalah negara atau pemerintah," katanya.
Dirinya juga mempertanyakan alasan mengapa Menteri BUMN Rini Soemarno bisa menyingkirkan kebijakan Menteri Perhubungan yang tidak mengutamakan proyek kereta cepat. Namun jika kemudian ada kesulitan keuangan, persaingan antar moda transportasi kereta cepat dengan sarana angkutan kereta-api dan angkutan jalan raya sehingga secara makro merusak sistem perhubungan Jakarta dengan Bandung.
"Menteri mana yang bertanggung jawab? Jika ada kecelakaan kereta cepat Jakarta-Bandung, menteri siapa yang bertanggung jawab?," Katanya.
Sementara itu soal alih teknologi sistem kereta cepat, dirinya juga mempertanyakan pengkajian soal siapa yang lebih unggul untuk diadaptasi sistemnya di Indonesia.
"Apakah kewajiban transfer teknologi ke Indonesia sudah menjadi keharusan dalam deal dengan Tiongkok ini? Apakah sudahkah diperhitungkan dampak geo-politik pilihan Tiongkok ketimbang Jepang dalam perkembangan politik pembangunan Indonesia dalam perkembangan global masa depan?,” katanya.
Emil mengaku curiga Menteri BUMN bisa melakukan semua ini dengan tangan sendiri."Kekuatan politik manakah yang mendukungnya dan dengan manfaat rugi bagi negara yang bagaimana?," katanya.
Menurutnya, mengapa memperbesar dana pinjaman valuta asing sampai US$ 6 miliar dalam dalam kondisi neraca pembayaran yang rawan sekarang ini dan membuat kabinet Jokowi-JK hadapi kepercayaan diri di dunia usaha nasional dan internasional.
"Apakah semua ini sudah diperhitungkan jika Rini sangat dekat dengan Jokowi? Mengapa Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli berdiam-diri dalam hal ini?," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News