Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Surplus neraca perdagangan Indonesia tahun 2017 tercatat US$ 11,84 miliar. Angka itu naik cukup tinggi sebesar 24,24% year on year (YoY).
Jauh lebih baiknya surplus neraca perdagangan tersebut ditopang oleh ekspor dan impor Indonesia di tahun lalu yang tumbuh dua digit dibanding tahun sebelumnya. Ekspor tercatat tumbuh 16,22% YoY dengan pertumbuhan volumenya mencapai 6,09% YoY dan impor tumbuh 15,55% YoY.
Ekonom Samuel Aset Majemen Lana Soelistianingsih menilai, kinerja ekspor dan impor tersebut belum kembali kepada kondisi Indonesia sebelum krisis. Apalagi jika dibanding saat harga komoditas tinggi di tahun 2011 lalu.
Namun, "Kinerja ini sudah menunjukkan perbaikan. Terutama dari sisi impor yang memang sudah melewati titik terendahnya, kalau tidak salah di awal 2016 lalu," kata Lana kepada KONTAN, Senin (15/1). Artinya lanjut dia, ekonomi domestik sudah menunjukkan perbaikan.
Lana optimistis, tahun ini ekspor menjadi sumber pertumbuhan ekonomi setelah konsumsi rumah tangga. Hal itu lanjut dia, didorong oleh prospek pertumbuhan ekonomi global yang membaik di 2018. Sehingga, volume perdagangan pun akan meningkat.
Ia menyebut, tiga tanda-tanda perbaikan ekonomi suatu negara. Pertama, melonjaknya harga komoditas tembaga lantaran negara yang ekonominya membaik pasti memerlukan tembaga untuk memenuhi kebutuhan barang elektronik.
Kedua, harga minyak yang mulai naik yang akan diikuti oleh kenaikan harga komoditas lainnya. Ketiga, kenaikan harga minyak pada akhirnya juga akan menaikkan harga komoditas pertanian. "Dan itu semua kita punya. Mudah-mudahan bisa berlanjut," tambah dia.
Meski begitu, Lana mengakui, kenaikan harga minyak mentah akan berdampak pada kenaikan total impor Indonesia sebagai pengimpor minyak.
Oleh karenanya, sejumlah transportasi umum seperti LRT dan MRT dibarengi dengan kenaikan harga batubara diharapkan mampu mengurangi impor bahan bakar minyak sehingga kinerja ekspor tetap bisa melampaui impor.
"Kalaupun neraca perdagangan mencatat defisit tidak apa-apa selama masih manageable dan tidak berpengaruh berlebihan terhadap transaksi berjalan. Kalau impor naik menunjukkan ekonomi membaik," tambah dia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga menilai, kinerja ekspor dan impor cukup tinggi di tahun lalu. Namun, performa itu belum mampu tumbuh sebagaimana pertumbuhan di era commodities boom dan harga minyak sempat menyentuh US$ 100 per barel.
Begitu juga dengan kondisi pasca krisis 1998 silam. Pada tahun 2000, ekspor Indonesia pernah tumbuh hingga 26,4% YoY. Sementara di tahun 2017, net ekspor hanya mencapai 0,67%. "Ini membuktikan komponen bahan baku impor dalam barang yang di ekspor masih cukup dominan," kata Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News